Revolusi Kesadaran
Banyak manusia hidup dalam ketidak kesadaran, terjebak dalam perdebatan panjang tentang kebenaran dan pembenaran ajaran agama. Mereka berlomba-lomba menjadi yang paling fasih dalam menyampaikan ajaran, menghafal kitab suci dan menunjukan keimanan sebagai simbol kebanggaan. Namun dibalik itu mereka lupa esensi sejati dari hidup di dunia ini. Sebagian besar manusia berfokus hanya pada ibadah formal, mengejar pahala dan menghindari dosa , seolah –olah kehidupan timbangan angka-angka kebaikan dan keburukan.
Mereka takut pada konsekuensi ilahi tetapi, sering lalai untuk bertanya pada diri dan bertindak sebagai manusia yang berkontribusi pada kebaikan semesta. Banyak pula yang begitu terobsesi dengan akhirat, memusatkan seluruh perhatian pada kehidupan setelah kematian, sehingga melupakan pentingnya menjalani hidup yang penuh makna di dunia ini.
Mereka mengabaikan tugas menjaga bumi dan pelindung sesama, dengan keyakinan bahwa segala nya akan disebut kehidupan berikutnya. Mereka mungkin tidak menyadari bahwa banyak orang mengejar surga, tanpa menyadari bahwa , surga sejati mungkin ada di dunia ini. Di dimensi fisik yang dapat kita sentuh, rasakan dan alami secara langsung. Jika surga di alam kematian adalah sebuah kenyataan maka sudah pasti,dimensi disana adalah dimensi jiwa dan roh bukan dimensi fisik.
Surga yang indah secara fisik seperti gambaran tentang buah-buahan yang berlimpah dan kenikmatan duniawi hanyalah interpretasi terbatas dari keindahan yang sesungguhnya. Namun surga yang memberi ketenangan dan kebahagiaan pada jiwa bukanlah surga fisik, ia adalah keadaan batin yang penuh cinta, damai adil dan rasa syukur. Surga sejati bisa dirasakan saat seseorang hidup dengan kesadaran penuh, menjalani hidup dengan penuh kasih sayang, berbagi kebaikan dan menjaga harmoni dengan alam semesta serta sesama manusia dan mahkluk hidup.
Disisi lain neraka bukan hanya tentang lautan api atau siksaan yang tak terbayangkan tanpa melihat secara fisik dari kasat mata. Neraka paling nyata adalah saat pikiran manusia terbelenggu oleh ego negatif,kemarahan yang membara, iri hati yang menggerogoti dan rasa takut yang memenjara. Setiap kali kita menyerah pada ego yang berbisik untuk membenci, merendahkan atau menghancurkan, kita telah menciptakan neraka di dalam diri kita sendiri. Namun ketika kita menyadari, keberadaan ego itu tanpa melawan nya, tanpa menyangkalnya tetapi,menerimanya dengan penuh kesadaran, maka kita sedang membuka pintu menuju surga batin.
Surga yang sejati adalah ketenangan yang muncul ketika kita berdamai dengan diri sendiri berdamai dengan sesama. Saat kita mampu memandangi dunia ini hidup tanpa prasangka menerima suka dan duka sebagai bagian dari tarian semesta. Surga yang nyata sesungguhnya ketika kita menciptakan keadaan damai, keharmonisan, kebersamaan kasih sayang dan saling berbagi, menolong dengan iklas tanpa harap imbalan membuat kita senang dan bahagia.
Kita mampu menerima realitas dengan lapang dada tidak ada penolakan, tidak ada pelarian hanya penerimaan yang utuh, walaupun suatu hari nanti benar-benar ada dimensi surga yang dijanjikan, lalu apa yang kita dapat rasakan disana, indahnya , bahagianya senangnya dan damainya ? Tentu saja, jiwa kita yang akan merasakannya. Tetapi jika saat ini di bumi kita mampu merasa damai bahagia dan penuh syukur. Lalu apa bedanya dengan surga yang belum kita ketahui dimana dimensinya. Jiwa kita yang merasakan kini adalah jiwa yang sama akan merasakan nanti.
Surga saat ini dan surga yang kita impikan di dimensi manapun nanti setelah kematian adalah satu dan sama. Hanya satu perbedaan yang nyata adalah kesadaran kita. Jiwa yang sadar pada momen di dunia nyata ini yang mampu menerima kehidupan dengan penuh cinta dan syukur, mengasihi manusia, menghargai, simpati dan empati kasih sayang serta penuh cinta sesungguhnya telah berada di surga. Maka jangan sampai kita salah menyadari hal ini.
Menunggu surga yang jauh di masa depan yang akan dinikmati di dimensi jiwa dan roh bukan dimensi fisik kita masih bernafas seperti sekarang. Sementara kita sedang melewatkan keindahan ada di hadapan mata adalah kehilangan yang paling menyedikan. Surga dan neraka bukanlah sesuatu yang menunggu kita di akhir perjalanan, surga sebenarnya hidup didalam batin kita, hadir dalam setiap detik saat kita memilih antara cinta atau benci, antara kedamaian atau amarah.
Setiap pilihan adalah percikan yang membangun taman surga atau mengobarkan api naraka. Maka jika terus menunggu dan menunda kebahagiaan dengan menaruhnya di masa depan yang belum pasti kita akan kehilangan keajaiban surga yang ada di hadapan kita yang merupakan surga itu. Surga tidak kemarin tidak besok tapi surga itu ada bersama kita sekarang yang sering hadir melalui berbagai bentuk dalam kehidupan kita terima atau kita lakukan terhadap sesama dan alam semesta.
Surga itu terkadang hadir setiap momen dibalut dengan berbagai masalah dan tantangan tetapi dibaliknya ada manfaat untuk hidup jika dimaknai. Jadi surga itu sekarang ia bersembunyi dibalik senyum yang tulus dalam pelukan yang menghangatkan, didalam tawa yang lahir dari jiwa yang ringan. Dan barangkali pada akhirnya kita akan menyadari bahwa surga sejati bukanlah sebuah tempat untuk tujuh melainkan cara untuk hidup. Ia ada di dalam jiwa kita masing-masing menanti untuk ditemukan dipeluk dan dibagikan pada sesama dan pada semesta alam serta dunia.
Sayangnya banyak manusia tidak berpikir sampai sedalam itu, mereka salah memahami konsep surga dan membatasinya hanya pada kenikmatan fisik semata, mereka menghabiskan hidup dengan mengejar bayangan surga di masa depan.Tanpa menyadari bahwa kesempatan untuk menciptakan surga di bumi ada setiap tindakan baik mereka lakukan hari ini. Mari kita meminjam sedikit mengutip ajaran Yesus bagi orang kristen dalam doa bapa kami “Jadikanlah di bumi di surga” hukum kasih ke tiga “ kasihilah sesama manusia” .
Hari ini betapa sering kita melihat seseorang beribadah di rumah ibadah dengan penuh kekhusyukan, namu keluar dari sana, yang keluar dari mulut nama-nama hewan atau binatang, merusak alam untuk keinginan dan kekayaan, membuang sampah sembarangan, merusak alam yang merupakan manifestasi ciptaan Tuhan.
Mereka berdoa memohon kesejahteraan namun menutup mata pada anak-anak yang kelaparan di jalanan, anak –anak dan orang tua di balita hidup dalam pengungsian. Mereka membaca dan mendengar tentang kasih sayang yang merupakan hukum Tuhan yaitu kasih, tetapi melukai sesama manusia dengan kata-kata yang tajam. Mereka membaca tentang keadilan tetapi menutup telinga terhadap jeritan manusia yang disiksa oleh pemerintah melalui aparatnya, jeritan binatang yang disiksa melalui ekploitasi, jeritan pohon-pohon di hutan yang ditebang, jeritan hutan yang digundul tanpa ampun.
Mereka berdiskusi panjang tentang kepedulian dan keadilan sosial tetapi lupa pada lansia yang kesepian di sudut rumah mereka sendiri, anak jatim yang hidup dari barang rongsokan dan mengumpulkan kaleng bekas minuman. Mereka tidak melihat manusia harus mengungsi dari kampung mereka hidup dalam ketakutan dan trauma tanpa makan di hutan. Mereka berseru tentang kejujuran namun acu tak acuh terhadap para rakyat kecil petani atau buruh yang menerima upah tak layak.
Di era teknologi yang semakin canggih, mereka mengagungkan pencapaian manusia tetapi lupakan makhluk kecil seperti lebah yang tanpa lelah menjaga ekosistem tetap seimbang. Mereka menghabiskan waktu berjam-jam memperdebatkan konsep keadilan. Namun tak pernah bertanya pada diri sendiri, apakah smartphone yang mereka gunakan diproduksi tanah jarang dan ekploitasi tenagah kerja anak.
Mereka menyerukan gerakan cinta linggungan tetapi abai terhadap limpah elektronik yang menumpuk di negara berkembang, bahkan di dunia maya. Mereka dengan mudahnya menyebarkan kebencian dan fitnah, mereka melupakan bahwa, setiap kata yang ditulis menciptakan luka yang tak terlihat. Mereka menikmati air bersi setiap hari tanpa memikirkan orang-orang pelosok yang kekurangan air yang layak minum, akibat ekploitasi merusak sumber air bersih mereka nikmati dari alam tanpa harus dibayar.
Mereka menyia-nyiakan makanan sementara berjuta-juta orang tidur dalam keadaan perut yang lapar seperti pengungsi di hutan, rakyat kena bencana banjir dan rakyat miskin kota yang tidak memiliki pekerjaan. Mereka membeli pakaian baru sebagai bagian dari tren mode yang cepat tanpa peduli limpah tekstil yang mencemari ari dan mencemari lautan serta mencemari bumi. Mereka berteriak tentang ketenangan spritual namun menciptakan polusi suara di tempat ibadah suara mesin mengganggu ketenangan linggungan sekitar.
Saat hari-hari besar keagamaan seperti puasa idul fitri, hari raja natal dan paskah tiba mereka menuntut toleransi atas ibadahnya, tetapi lupa memberikan ruang yang sama bagi mereka yang tidak puasa atau mereka tidak berpartisipasi dalam ibadah-ibadah natal. Bahkan jalan raja yang seharusnya untuk kepentingan umum disulap menjadi area untuk acara ibadah, mengabaikan hak pengguna jalan lainya.
Sejak zaman dahulu hingga sekarang manusia terus mengulang kesalahan yang sama mereka membangun tembok perbedaan memandang rendah sesama karena perbedaan suku,ras atau keyakinan. Mereka berperang atas nama agama dan kepercayaan membenarkan kekerasan dengan dalil membela Tuhan.
Di sisi lain mereka menciptakan monopoli ekonomi memperkaya segelintir orang di atas penderitaan banyak orang. Ironisnya banyak yang membanggakan dirinya sebagai insan beriman tetapi, saat tetangganya kelaparan mereka hanya mengangkat tangan berdoa tanpa memberikan bantuan. Mereka mendirikan rumah ibadah yang megah tetapi, enggan menyisihkan rejeki untuk anak yatim piatu, orang pengungsi di sekitarnya. Ada pula yang mengatakan kejahatan dengan ayat-ayat cuci namun diam saat ketidakadilan tumbuh subur subur di depan mata.
Apakah ini manusia yang dikasihi Tuhan ? Apakah ini esensi ajaran yang yang kita banggakan ? Tidak!. Kita sedang dan sudah menciptakan ilusi keimanan, bersembunyi dibalik simbol-simbol suci tanpa memahami maknanya.
Kami berbicara tidak hanya untuk 5 keyakinan besar agama yang ada di dunia ini tetapi juga untuk ribuan keyakinan yang telah ada sejak awal manusia belum berakal atau belum mengunakan akal hingga manusia berakal diciptakan Tuhan melalui perantara petugas-petugas Tuhan, entitas- etintas yang lebih tinggi. Keyakinan yang berkembang di setiap sudut bumi membawa pesan tentang cinta, kebijaksanaan dan penghormatan terhadap sesama makhluk hidup, namun sering waktu banyak yang melupakan esensi tersebut.
Kita melihat orang–orang yang berdalih membela agama tetapi menyerang sesama manusia yang berbeda keyakinan. Mereka memikirkan nama Tuhan saat menghancurkan rumah-rumah orang lain, menghancurkan sumber kehidupan dan hak hidup orang lain.
Lupa bahwa, Tuhan tidak pernah memerintahkan tentang kebencian. Ada yang menutup mata terhadap bumi yang semakin rusak, meraup keuntungan dengan merusak alam yang seharusnya kita jaga mereka berargumen bahwa semua ini adalah ujian dari Tuhan. Pada hal tangan manusialah yang menciptakan kehancuran yang kita saksikan ini. Lebih mengerikan lagi mereka mengajak anak-anak untuk membenci, mengajarkan bahwa perbedaan adalah ancaman.
Mereka menanamkan rasa takut terhadap yang tidak mereka pahami memperpanjang rantai kebencian dari generasi ke generasi. Dengan hati yang penuh prasangka mereka lupa bahwa setiap manusia adalah saudara ciptaan Tuhan yang sama dibawah langit yang satu. Tuhan dalam berbagai nama dan wujud yang diyakini manusia menciptakan kita bukan hanya untuk bersujud tetapi untuk hidup tumbuh dan berbuat baik dalam harmoni seluruh ciptaan.
Hidup bukan sekedar menunaikan ritual ibadah semata, melainkan menanamkan kebijaksanaan, menyebarkan kasih sayang dan menjaga keseimbangan alam semesta dan manusia. Menyembah Tuhan seharusnya terlihat dalam setiap langkah penuh welas asih, dalam tangan yang menolong dan dalam hati yang memaafkan. Namun banyak yang terlelap dalam dogma memeluk ajaran sebagai belenggu bukan sebagai jalan menuju pencerahan. Mereka terkungkung dalam sejarah lampau pada hal jiwa manusia memiliki potensi untuk melampaui teks-teks yang tertulis dalam kitab cuci.
Kitab suci dalam berbagai tradisi adalah petunjuk bukan tembok yang membatasi, perjanjian yang ditulis dalam alkitab ribuan tahun lalu seharusnya menjadi kompas moral, bukan rantai yang membelenggu akal budi. Perlu disadari bahwa kitab suci yang diwariskan umat manusia sejatinya teriri dari 70% hasil pemikiran manusia yang berusaha memahami kehendak yang ilahi atau pencipta. Sementara sisanya 30% adalah pesan dari bangsa-banga ciptaan Tuhan yang lainya seperti 12 suku orang Israel keturunan Braham.
Entitas tinggi seperti malaikat dan petugas semesta, mereka adalah menjaga keseimbangan yang membantu tuhan dalam menciptakan, memelihara dan mengendalikan tatanan alam semesta semata-mata atas kehendak Tuhan. Tidak ada satu pun tindakan dari petugas Tuhan yang berlangsung tanpa izin dan kehendak tuhan. Setiap tugas mereka jalankan adalah manifestasi dari kasih dan kebijaksanaan Tuhan yang maha mengetahui.
Bangsa pleiadian cerita mitologi, bahwa, dalam kebijaksanaan mereka telah lama menyampaikan pesan kepada manusia masih memegang teguh teks-teks kitab dan perjanjian-perjanjian yang ada di waktu sejarah yang lalu.pada hal manusia sebenarnya bisa lebih dari itu. Kami tidak berfokus pada dogma dan doktrin tetapi lebih kepada moral dan bagaimana menjadi seorang nafas yang berjalan.
Pesan ini mengingatkan kita bahwa hidup yang bermakna bukan karena sekedar tunduk pada aturan tetapi memahami alasan dibaliknya,menjadi nafas yang berjalan berarti hidup dengan kesadaran penuh. Menciptakan cinta dimana ada kebencian, membawa terang di tengah kegelapan dan menanam beni kebaikan yang di tanah yang gersang.
Kepada generasi yang berikutnya anak anak kita, cucu-cucu kita dan semua yang menjadi penerus kehidupan ini sadarlah! jangan ikuti jejak kami yang telah salah memahami esensi hidup beragama. Kami terjebak dalam simbol, ritual, dan dogma, sementara Tuhan menghendaki memahami cinta, kasih sayang, keadilan dan menghormati sesama tanpa melihat status sosial.
Jangan sampai kalian hidup dalam nama agama tetapi kehilangan Tuhan di dalam hati. Kami memohon agar kalian jadi cahaya yang membimbing dunia, bertindaklah dengan hati yang tulus bukan karena takut tetapi karena cinta. Tumbuhlah menjadi generasi yang memahami bahwa, beragama bukan tentang memenangi perdebatan melainkan memahami perbedaan dan menjaga kehidupan di bumi ini.
Kepada generasi kami yang masih hidup, bangunlah lepaskanlah belenggu yang menghalangi cahaya nuranimu. Jadilah manusia yang hidup dengan cinta bertindak dengan bijaksana dan berjalan di atas bumi ini sebagai berkat bagi semesta dan manusia.
Kepada para orang tua di zaman ini saatnya sadar, pendidikan anak bukan lagi sekedar mewariskan dogma tetapi membentuk jiwa yang bertanya, berpikir kritis, dan memahami serta merancang kehidupan dunia yang adil. Jangan lagi mengulangi kesalahan ratusan Tahun yang telah terjadi dimana anak-anak dibesarkan dalam ketakutan bukan pemahaman dalam ketundukan buta bukan kesadaran sejati. Ajarkan lah nilai-nilai universal kasih sayang empati, keadilan dan rasa hormat pada kehidupan dan manusia.
Biarkan mereka tumbuh menjadi manusia merdeka yang tidak hanya tahu apa yang di yakini tetapi juga mengerti mengapa mereka meyakininya. Berikan ruang dialog bukan paksaan, berikan pemahaman bukan hanya sekedar perintah dan pesan kosong. Tanamkan spritualitas yang hidup bukan hanya serangkaian ritual ibadah yang kosong.
Inilah pola didik baru yang tidak hanya mempersiapkan mereka untuk akhirat atau surga dimensi kehidupan roh, tetapi juga menjadikan mereka menjadi pelita di dalam dunia yang terus berubah. Karena generasi masa depan layak mendapatkan warisan terbaik, bukan trauma tapi cinta. Bukan ketakutan tapi keberanian. Bukan dogma tapi kebijaksanaan.
Pesan dari masa kini untuk masa depan, wahai yang hidup di zaman ini dan mereka yang kelak akan menggantikan jejak kami dengarlah.! Hidup yang bermakna bukan sekadar menunduk pada aturan religiusitas atau hirarki agama yang dibekukan oleh waktu.
Hidup sejati adalah nafas yang sadar, ia berjalan dengan hati yang terbuka menciptakan cinta di tengah kebencian, menyalahkan cahaya di ruang gelap dan menanam beni kebaikan meski tanah tak terlihat gersang. Kepda generasi penerus jangan warisi kesalahan kami.
Kami pernah memeluk agama namun kehilangan Tuhan;
Kami terlalu sibuk menjaga bentuk, tetapi lupa pada esensi;
kami mendebat ayat-ayat lupa merangkul manusia;
Kami menanamkan rasa takut pada hal Tuhan adalah cinta.
Kami membungkus keyakinan dalam dinding batu lalu menyebutnya iman.
Jangan ikut jejak itu, berjalanlah dengan kasih, bukan karen takut dihukum tetapi, karena cinta yang hidup dalam dadamu. Jadilah generasi yang tidak hanya hafal doktrin tetapi juga mengerti maknanya. Yang tidak merasa paling cuci tetapi paling ingin memahami. Untuk kami yang orang dewasa masih hidup, sudah waktunya bangun, sudahi tidur panjang dalam dogma, warisan sudahi cara lama yang membesarkan anak dengan tekanan bukan pelukan yang menakuti mereka dengan neraka. Pada hal belum memperkenalkan makna surga sejati. Hati yang damai.
Wahai para orang tua pendidikan anak bukanlah proyek pencetakan robot penghafal melainkan pengasuhan manusia yang bebas, manusia yang merdeka. Mereka bukan wadah untuk ambisi kita yang gagal. Mereka bukan salinan dari kebingungan kita. Mereka adalah benih baru yang butuh air pemahaman bukan pupuk paksaan.
Hentikan pola didik usang yang hanya menghasilkan generasi yang takut bertanya.Ajarkan anakmu untuk mencintai kebenaran bukan sekedar mentaati perintah,ajarkan mereka untuk menemukan Tuhan dalam rasa peduli, bukan hanya dalam seragam ibadah. Ajarkan bahwa agama adalah jalan menuju kebijaksanaan, bukan arena saling menang, berikan mereka ruang untuk merasakan bertanya tentang jatuh dan bangkit.
Bukan karena mereka harus menjadi anak baik versi kita tetapi, karena mereka sedang tumbuh jadi cahaya versi mereka sendiri. Jika kita ingin masa depan yang terang maka hari ini kita harus mulai mencetak lentera, bukan dari besi dan dogma, tetapi, dari kasih, kejujuran dan kesadaran.
Ingatlah Tuhan tidak butuh pembelah, Ia butuh manusia yang benar-benar mencintai, sebab di akhir perjalanan yang akan dikenang bukanlah seberapa sering kita berdoa, tetapi seberapa besar cinta kita tinggalkan di hati sesama. Hidup adalah ibadah dalam setiap tindakan kasih namun,dari semua ini bukanlah akhir melainkan awal dari perjalanan menuju kesadaran yang lebih tinggi.
Kesadaran bukan sekedar memahami ada yang salah tetapi juga berkomitmen untuk memperbaikinya, ia adalah keberanian untuk menantang kebiasaan yang telah mendarah daging bertanya pada diri sendiri, apakah tindakan kita mencerminkan nilai-nilai kita agungkan. Kita tidak perlu menjadi tokoh besar untuk membawa perubahan, setiap senyum yang tulus setiap bantuan yang diberikan tanpa pamrih.
Setiap keputusan untuk memaafkan adalah langkah kecil yang memperbaiki dunia. menyadari bahwa, nilai agama sejati terwujud dalam tindakan nyata, akan membuat kita lebih manusiawi, lebih memahami,esensi kehadiran kita di bumi ini. Kita juga harus mengingat bahwa, bumi ini adalah warisan untuk anak cucu kita. Perusakan alam yang kita lakukan hari ini bukan hanya mencederai ciptaan Tuhan tetapi juga merampas masa depan generasi yang akan datang.
Menjaga linggungan mengurangi limbah menghormati makhluk hidup lainya, semua itu adalah bentuk ibadah yang sering dilupakan. Lebih jauh kesadaran juga berarti berdialog dengan sesama tanpa prasangka. Berbeda keyakinan tidak seharusnya mejadi tembok yang memisahkan kita, justru dalam perbedaan itulah kita belajar untuk saling memahami dan merasakan kekayaan prespektif yang Tuhan ciptakan. Menerima perbedaan bukan berarti mengkhianati, iman tetapi justru memperkokoh nilai-nilai kemanusiaan. Jika kita ingin menjadi manusia yang benar-benar sadar maka kita perlu bertanya.
Apakah setiap langkah kita mencerminkan cinta kasih? Apakah setiap kata yang keluar dari mulut kita bawah kedamaian ? Apakah kita telah berusaha menjadi cahaya bagi orang lain, meskipun hanya tindakan kecil ?
Tuhan tidak membutuhkan pujian kita jika pujian itu hanya hampa dan tak berjiwa.Tuhan tidak meminta air mata penyesalan yang tidak diiringi dengan perbaikan nyata. Yang Tuhan inginkan adalah hati yang bersih tangan yang membantu, dan jiwa yang terus belajar. Mari kita mulai dari hari ini bukan dengan mengubah dunia dalam sekejap tetapi dengan satu langkah kecil yang penuh makna.
Berikan uluran tangan kepada yang membutuhkan, jaga linggungan tempat kita tinggal maafkan kesalahan orang lain dan sebarkan kebaikan dimanapun kita berada. Sebab di akhir perjalanan nanti yang benar-benar akan dihitung bukanlah berapa banyak ayat yang kita hafal tetapi seberapa banyak cinta yang kita sebarkan.
Kita akan dikenang bukan karena betapa megahnya rumah ibadah yang kita bangun tetapi karena berapa besar kita telah menjadi ruma bagi sesama. Hiduplah dengan sadar, karena disanalah kita menemukan makna sejati dari keberadaan kita.
Akhir dari Tulisan ini saya ingin mengutip ajaran rasul paulus Roma 8:18-30 tentang partisipasi orang kristen dalam penderitaan yang dialami oleh seluruh ciptaan.
Melengkapi tulisan ini beberapa catan ayat alkitab menjadi ajaran sesungguhnya sebagai berikut bisa dibaca : Ibrani pasal 13;16, amsal 19:17, ulangan 15: 7-8.
Yesaya 59:10, Apabila engkau menyerahkan kepada kepada orang lapar apa yang kau inginkan sendiri dan memuaskan hati orang yang tertindas, maka terangmu akan terbit dalam gelap.
Tulisan ini menjadi refleksi saya sendiri sesuai dengan ajaran orang tua saya, mengabdi hidupnya dalam gereja, dan beliau ajarkan tentang Kebenaran agar kita menjadi cahaya dalam memperjuangkan Kebenaran dan keadilan serta hak penentuan nasib sendiri bagi rakyat PAPUA.
REVOLUSI KESADARAN DAN KONTEKSTUALISASi TEOLOGI PEMBEBASAN.
Nesta
#pengikut
@sorotan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar