Dalam perjuangan pembebasan Nasional Papua Barat sangat dibutuhkan kekuatan Peole power atau kekuatan rakyat secara langsung dalam gerakan perlawanan nasinal. Salah satu pillar dalam perjuagan pembebasan adalah kaum hawa atau perempuan, karena perempuan adalah salah satu pilar utama dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara.
Maka sangat dibutuhmkan keterlibatan perempuan dalam gerkan perlawanan
rakyat Papua bukan hanya menjadi masa rakyat tetapi ajuga secara person
terlibat dalam organisasi perjuangan sebagai aktsvis Revolusioner, anggota
organisasi bahkan menjadi pengurus dan pimpinan organisasi gerakan perlawanan
adalah keharusan.
Posisikan perempuan sebagai pejuang memiliki tanggung jawab moral
sebagai anak bangsa Papua punya hak yang sama atau setara dengan kaum laki-laki
dalam perlawan penindasan di Papua. Oleh karena itu sangat diperlukan
pendidikan dalam internal setiap oraganisasi gerakan di Papua tentang seksisme patriarki budaya menghambat
perempuan papua terlibat dalam perjuagan pembebasan nasional. Maka sangat
diperlukan pendidikan bersama pentingnya ketelibatan perempuan dalam organisasi
perjuangan dengan menetapkan materi pendidikan tentang penindasan perempuan
dalam konteks seksisme dan patriarki tanapa menguragi hukum patrinia atau hukum
adat budaya di Papua sebagai hiraraki bangsa Papua harus dilindungi dan
dilestarikan bersama.
Namun dalam konteks perjuagan pembebasan nasional Papua barat sangat
diperluakan perjuangan pembebasan permpuan dari pandangan seksisme dan
patriarki dalam organisasi perjuangan,
karena pembebasan bangsa kita perjuangakan tanpa pembebasan perempuan dam
platfrom organisasi perjuagan agar tidak ada perbedaan kelas dalam organisasi
perjuangan tetapi perempuan maupun laki-laki memiliki tanggung jawab sebagai aktvis menciptakan kesetaraan.
Sebelum kita membahas lebih lanjut kita perlu mengetahui terlebih dahulu
apa itu seksisme dan patriarki, untuk memahaminya beberapa hal yang sederhanan
yang kita angakap lelucin tetapi kita tidak sadar kalau apa yang kita ucapkan
dan tindakan kita lakukan itu adalah peraktek seksisme dan patriarki dalam
kehidupan dan pergaulan interaksi sosialn
kita.
Peraktek seksisme dan patriarjki sering terjadi atau dilakukan secara
sadar atau tiadak sadar dalam organisasi dalam kehidupan sehari secara verbal
tanpa kita sadari dianataranya :
1.
Domestifikasi
perempuan sebagai pekerja domestik atau pekerjaan rumah tanggga: pada hal itu bukan kodratnya perempuan semata
tetapi tanggung jawab bersama kaum
laki-laki maupun, tanpa dipaksa. Hal yang siring diangkap lelucon, contoh :
kawan ko cuci piring sendiri, ko suci pakian sendiri dimana ko punya maitua
(istri) ko kawin dia untuk apa ? ko maitua tidak rajin pamalas kerja kenapa
kawin dia (pelavelan), ko ini kaja baci saja, ko bukan perempuan jangan
cengeng, ko pu gerakan ini macam
perempuan saja lambat, jadai laki-laki kuat ko bukan perempauan.
2.
Subordinasi
perempuan : perempuan selalu dipandang sebagai kaum yang lemah, manusia kelas
dua dalam kehidupan masyarakat, laki-laki dilihat mahkluk yang kuat tegas dari
perempuan kaum hawa yang lemah dalam mengambil keputusan dalam organisasi.
Contoh : laki laki haraus bertanggung jawab mencari nafka keberlangsungan
hidudup dalam keluaraga, sementara perempuan urus anak uraus anak, urus rumah
tanggga, urus masak minum, susci di rumah saja. Perempuan itu tidak boleh urus
pekerjaann.
3.
Marginalisasi
Perempuan mengasingkan perempuan tidak ikut terlibat dalam pekerjaan setara
dengan laki-laki. Contoh : ko itu perempuan sekolah tinggi juga kembali ke
dapur, jadi ko pu sudara laki-laki aja kita prioritaskan untuk sekolah, tidak
bisa berbaur dengan laki-laki ikut terlibat dalam organisasi atau komunitas
diskusi bebas akarena orang tua larang, ada acara di rumah segala urusan masak
minum dan buat the copy harus perempuan, laki-laki bisa keluar diskusi atau
bermain sampai tengah malam tidak mengapa kau ini perempuan.
4.
Objektivikasi
perempuan, perempuan harus mekap, semua barang warna ping melambangkan berhak
pakai perempuan. Perempuan dijadikan objek ekploitasi dan bisnis melalui iklan
produk kecantikan , perempuan harus cantik seperti artis dan sama seperti
perempuan korea pakaian mini dan lain-lain.
Itulah contoh peraktek seksisme dalam kehidupan kita sehari masih
melihat perempuan dari sudut pandang
seksisme.
Dari beberapa contoh diatas kami bisa melihat bagimana paradikma kita
melihat perempuan sebagai kaum yang
lemah. Pekerjaan dalam ruamh kita angkap sebagai kodratnya perempuan, laki –laki
duduk pangku kaki-kaki, urus anak semua perempuan. Kemudian membatasi perempuan
secara bebas berexpresi akibat terisolasi dengan patriarki dan kehidupan
perempuan ditentukan oleh laki serta perempuan menjadi objek oleh kaum kapital
melalui berbagai prodak kecantikan menjadi iklan dan menjastifikasi lainya.
Kadang kita tidak menjadarinya setiap ucapan kita sehari-hari di dalam
rumah tangga, di kampus, dalam organisasi dan kadang kami ucapkan lelucon
tetapi setiap kata kita ungkapkan terhadap perempuan dari sudut pandang
seksisme.
Seksime adalah dilihat sebagai satu bentuk diskriminasi terhadap
perempuan dilihat dari sudut pandang jenis kelamin. Seksime sudah ada sejak
jaman bar-barisme atau dalam pekembangan manusia dikenal dengan semi komunal
hidup meramu dan berpindah-pidah. Namun jaman bar-barisme pembagian peran
antara kaum laki-laki dan perempuan sanagat baik. Dari jaman perasejarah sampai dengan jaman
komunal tidak ada pandangan seksisme seperti
sekarang, mungkin ada patriarki buadaya sedikit tentang pembagian hak
kepemilikan tanah hutan dan kekayaan atau harta dari orang tua kepada
anak-anak.
Hak kepemilikan lebih dominan kepada anak laki-laki dari pada anak
perempuan, tetapi hal ini terjadi tidak semata mata karena seksisme dan bukan
tergolong penindasan perempuan tetapi, ini karena untuk mempertahankan dan menerusakan warisan
budaya hak kepemilikan serta mempertahankan marga dan harga diri keluaga.
Pembagian harta lebih banyak dimiliki laki-laki karena lagi akan
meneruskan keturunan dan mempertahanakan tanah hutan dan ahli waris lainya di
dalam komunitas tersebut sehingga kebanyakan harta diberikan kepada laki-laki.
Sedangkan untuk perempuan punya hak sama tetapi ada kecualinya, apabila
perempuan keluar kawin dengan laki –laki di daerah lain atau kampung lain maka
tidak punaya hak untuk mendapatakan hak kepemilikan tanah dan hutan serta kekayaan
llainya. Sedangkan anak perempuan kawin dengan laki-laki di satu kampung atau
dalam komunitas tersebut maka, dapat hak yang sama dengan saudara-saudara
laki-laki tetapi ada ketentuan. Jika suatu saat saudara perempuan punya anak
ada maka biasa dapat hak kepemilikan tanah tetapi tidak punya anak mandul maka
tanah atau hutan dan sumber daya alamnya diambil kembali oleh saura laki-laki
atau anak-anak dari laki-alaki.
Dilihat dari konteks ini maka tidak bisa dikatakan penindasan dari
akonteks budaya dan hukum patrinia yang berlaku dalam satu komunitas tertentu.
Jadi pada saat komunal tidak pernah mengenal dengan namanya penindasan
perempuan, tidak ada patriarki memandang perempuan lemah dan manusia kelas dua
dalam masyarakat.
Karena kehidupan masyarakat komunal perempuan dan laki-laki memiliki
tanggung jawab yang sama dan bagai peran dalam aktifitas misalnaya corak
produksi memenuhi kebutuhan hidudp kerja bersama. Istri suami memiliki tugas
masing –masing , misalnya laki-laki kerja kebun, Istri bantu kerja, selesai
kerja kebun kali ubi puang ke rumah masak makan kasih besar anak secara
bersama. Setelah laki-laki menyelesaikan kebun perempuan punya tugas tanam,
kadang kebun perempuan punaya sendri dan laki-laki sendiri. Bersikan kebun
sampai panen selalu kerja sama suami istri.
Kemudian untuk memelihara ternak misalnya babi urus babi kasih makan
bukan ahanya perempuan saja tetapi laki-laki adan perempuan berperan aktif
kerja bersama. Untuk bikin rumah saat laki laki kerja siapkan bahan bagunan
istri pergi kali ubi untuk masak makan, ketiga pada saat masak babi sebelumya
suami istri bicara ada kesepakan siapa-siapa yang diundang bagiman pembagianya.
Dalam keluarga sering ada pertengkaaran terjadi kadang dipicu oleh
anak-anak, apabila anak –anak nakal
abapanaya pukul istrinya marah membela anak kadang memicu pertengaran
dalam rumah tangga, kadang baku marah karena babi, dimana saudara perempauan
atau saudara dari laki-laki kena masalah maka tiba –tiba mereka harus bayar
masalah dengan babi untuk bantu meringanakan masalah yang dihadapi saudara dari
istri ataupun saudara dari suami. Kadang istri mau lepaskan babai kadang suamai
tidak mau tetapi terpaksa melepaskan harta mereka karena masalah, akhirnya
terjadi pertengkaran dalam ruamh tangga.
Dari sini kita lihat tidak ada kekerasan terhadap perempuan , tidak ada
penindasan perempuan karena patriarki ndan tidak ada pandangan seksime dalam
komunitas masyaraakat komunal. Tidak ada perbedan kelas dalam kehidupan
masyarakat komunal, selalu hidudup aman tanapa ada penindasan perempuan bahkan
dalam kehidupan komunal selalu kerja sama , bagai peran masing-masing antara
perempauan dan laki. Kacuali di honai atau rumah laki –laki tidak boleh
perempuan masuk , karena berbagai alasan mendasar pertama dalam honai laki-laki
ada kekuatan supra aanatural, kedua di honai laki-laki banyak hal baik dan
buruk dibicarakan dan yang ke tiga adalah ketiga musuh datang serang honai
laki-laki taidak boleh ada korban perempuan dan anak-anak. Ke empat ketiga ada
musush tiba-tiba serang maka laki-laki secara bebas menghadapi musush tanpa
terikat dengan perempuan dan anak-anak.
Saat perang ada perempuan harus punya tugas dan tanggung jawab untsuk
melindungi anak dan bisa mencarai tempat aman , tetapi ada perempuan khusus
yang selalu mainkan fungsi kontra Intelejen dan memancung musush sehingga saat
perang ada perempuan punya peran khusus dimainkan. Tetapi dalam perang
perempuan dan anak selalu dilindungi.
Seksisme dan patriarki penindasan perempuan terjadi dimana masa transisi
dari komunal ke masyarat berkelas, yaitu perbudakan dan peodalisme yang
menciptakan masyarat berkelas bagian
dari sitem kapital. Dimana masa transissi masyarakat komunal primitif ke
perbudakan ditandai dengan privatisasi dan monopoli alat produksi (Tanah) yang
meneyebabakan terciptanya masyarakat berkelas dan tersinggirnya kaum perempuan
dari alat produksi karena memenuhi tenaga kerja produksi dan memenuhi
kebutuhaan mendesaak sehingga lama-lama budaya mulai semakin dipatenkan pada masa feodal atau peodalisme
atau sitem kerajaan , raja dan pemilik menjadi berkuasa atas rakyat dengan
perbudakan sebagai tenaga kerja.