Mencari Akar Penindasan Perempuan dan Dominasi Maskulinitas Di Papua
Risna Hasanudin Mau melihat patriarki penindasan di Papua itu kita harus kebelakang dulu sejak kapan patriarki penindasan itu ada runut dari sejarah perkembangan masyarakat Papua itu sendiri. Patriarki penindasan itu terjadi apa sebabnya mulai dari jaman bar-bar komunal sampai dengan saat ini imperialisme global dan neokolonialisme.
Jika penindasan di kehidupan komunal sampai feodalisme dan masa perbudakan itu benar ada di Papua apa faktor penyebab terjadinya Penindasan tersebut supaya kita temukan akar. Kemudian berhubungan dengan kolaborasi maskulin dan feminim juga kita disandingkan hukum polaritas supaya kita temukan awal mula patriarki penindasan dan dominasi Maskulinitas itu terjadi. di papua.
Mulai dari kehisupan sosial masa komunal, feodalisme, Perbudakan, kolonialisme dan kapitalisme serta Imperialisme global di abad ke 21 sekarang. Supaya Pran Gender maskulin dan feminim keseimbangan itu hilang mulai kapan. Supaya kita bisa kontekstualisasi dengan femenime sesuai kondisi objektif femenime varian mana yang relevan di Papua.
Karena femenime itu lahir akibat kehilangan dan kegagalan pran atu kolaborasi gender maskulin dan feminim serta terori penciptaan manusia berdasarkan teori agama dan sandingkan dengan hukum polarita alam semesta atau hukum polaritas
Inii berkaitan dengan keseimbangan kehidupan manusia dan alam semesta serta masalah kesetaraan dimana masing-masing memainkan peran maskulin dan feminim menjaga keseimangan kehidupan.
Bicara femenime varian banyak kalau bicara ekofemenisme cikal bakal hukum polaritas keseimbangan dan kesetaraan alam dan manusia. Dimana fran fememin dan maskulin berhubungan dengan alam dimana kaki-kaki Berkuasa atas tanah dan perempuan memiliki Pran mengelola yang dikuasai laki-laki.
Di kampung masih berlaku tradisi komunal dan tidak ada Penindasan perempuan karena ada pembagian peran. Bedah lagi di kota sudah dipengaruhi budaya populer luar penindasan Perempuan dominasi maskulinitas itu ada karena pengaruh Kapitalime memposisikan perempuan sebagai pekerja domestik.
Mungkin hal yang mungkin terlihat dari patriarki mungkin persoalan pembagian ahli waris tetapi hal ini berkaitan dengan hukum patrineal tentang tentang keturunan misalnya anak ikut marga laki-laki.
Yang memperkuat dominasi maskulinitas dan Patriarki ini juga adalah pengaruh sistem kepercayaan dan historis sejarah penciptaan manusia di taman Eden.
Artinya kita mulai lihat kebelakang terlebih dulu, yaitu kehidupan komunal sampai dengan datangnya kolonialisme, Belanda kapitalisme dan Imperialisme global sekarang.
Selain itu faktor kolonialisme Belanda masuk ke Papua terlebih dahulu mendirikan perusahaan VOC dengan dan sistem kepercayaan atau agama Sistem Kepercayaan lebih dahulu taklukkan dan doktrinasi orang Papua dengan pembagian sending kristen protestan dan Katolik sebelum pemerintahan.
Coba kita baca sejarah Inji masuk kemudian kolonialisme Belanda menjadi jembatan kapitalisme dan Imperialisme hari ini. Agar kita bisa menentukan faktor-faktor dan bagaimana mana cara melawan penindasan terhadap perempuan itu.
Penindasan perempuan di Papua itu terjadi setelah kolonialisme Belanda dengan sistem feodal terlebih dahulu berakar di Papua melalui penyebaran agama. Kemudian struktur pemerintahan Belanda mengikuti jejak penyebaran agama.
Akibatnya perubahan pola hidup dan mentalitas feodalisme Belanda mulai populerkan dengan memposisikan perempuan sebagai penolong laki-laki berdasarkan teori agama.
Selanjutnya kolonialisme Indonesia masuk meneruskan budaya feodalisme dan agama muslim di Papua mudah kita temukan jejak sejarah penindasan perempuan di Papua.
Dimana penindasan perempuan Papua itu terjadi akibat apa dan bagaimana Perlawanan terhadap penindasan terbuat.
Karena jika saya melihat dan membaca sejarah masa Kolonialisme Belanda Perempuan Papua berperan aktif juga dalam dunia kerja.
Misalnya pembentukan Anggota Dewan New Guinea Raad ada perwakilan Perempuan dipilih melalui demokrasi ditetapkan pada tanggal 5 Apri 1961.
Hal yang perlu lihat lagi kebanyakan penindasan perempuan seperti kasus KDRT sampai dengan kasus Femisida dan tindakan sadisme lain terhadap perempuan Papua saat ini dominasi maskulinitas kehilangan Pran.
Salah satunya adalah seksisme dan diskriminasi berbasis gender karena perempuan diposisikan sebagai objek atau dengan kata lain pabrik manusia (alat produksi Manusia).
Hal ini berdampak pada kekerasan terhadap perempuan termasuk kasus Femisida karena orang Papua pronatalisme.
Pronatalisme ini yang berdampak pada KDRT sampai sadisme melahirkan kasus Femisida, kebanyakan laki-laki Papua pronatalisme memposisikan perempuan sebagai manusia kelas dua objek seks dan juga alat produksi Manusia.
Persoalan pekerjaan domestik itu jika kita melawan kapitalisme sebenarnya persoalan kemampuan secara fisik maupun non fisik juga tanggung jawab moral memenuhi kebutuhan bersama kembali ke kolaborasi dan pran masing-masing.
Ini Soal tanggung jawab moral dan tanggung jawab sosial ketiga sudah mengambil keputusan untuk menikah atau berkeluarga unrus demesik yang Subjektif.
Patriarki Pronatalisme Di Papua terjadinya kekerasan terhadap perempuan termasuk kasus Femisida. Kebanyakan kita di Papua termasuk di Indonesia orang banyak pro natalisme karena dipengaruhi oleh patriarki dan feodalisme.
Dominasi maskulin yang sangat dominan di Papua pronatalisme alasan demokrafi dan patriarki ingin mempertahankan kekuasaan maskulin. Tidak pernah lihat aspek politik ekonomi humanisme dan tanggung jawab moral, tanggung jawab sosial secara fisik maupun psikis.
Selain itu kita di Papua kebanyakan pronatalisme karena patriarki dan hasrat kepuasan didorong ego tanpa mempertimbangkan tangung jawab dalam hal ini ekonomi dan humanisme dalam hal memanusiakan manusia.
Silahkan mau pronatalisme atau antinatalisme itu soal pilihan karena ukurannya adalah tanggung jawab sosial dan bagaimana bertanggung jawab terhadap komitmen. Mungkin ini soal pilihan pribadi tidak bisa didesak orang lain.
Karena hal ini juga berkaitan dengan persoalan Subjektif tidak bisa dipengaruhi kondisi external terhadap keputusan. Dampaknya dimana kita didorong patriarki mempengaruhi egoisme maskulinitas kita pada akhirnya hal yang sering terjadi adalah masokinis dan sadisme. Kebanyakan korban sadisme semakin banyak ini melahirkan penindasan dan kekerasan.
Dominasi Maskulinitas melahirkan penindasan Perempuan dipengaruhi faktor patriarki pronatalisme.
Setalah kasus Femisida terkemuka di publik saya menulis faktor patriarki Pronatalisme melahirkan kekerasan dan Femisida.
Beberapa hari sebelum kasus Femisida oleh oknum TNI AU itu saya tulis ini. Penindasan perempuan karena pronatalisme di Papua. Lihat di dinding FB saya
Femisida Ancaman Serius Terhadap Perempuan Papua
Kasus Femisida harusnya menjadi sorotan publik namun tidak pernah ada perhatian serius atau sorotan kekerasan terhadap perempuan di Papua termasuk kasus Femisida. Kasus- kasus Femisida di Papua salah satu kejahatan dan ancaman serius terhadap perempuan Papua yang seharusnya menjadi perhatian publik agar tidak dianggap biasa akhirnya banyak perempuan menjadi korban.
Kasus Femisida tidak disoroti masyarakat tetapi juga oleh lembaga kemanusiaan Aktivis HAM maupun Aktivis gerakan dan rakyat Papua. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pandangan seksisme, patriarki budaya memposisikan perempuan sebagai manusia kelas dua dalam struktur sosial masyarakat.
Paradigma patriarki ini melahirkan penindasan terhadap perempuan di Papua termasuk kasus Femisida berapa tahun terakhir terjadi di Papua.
Gerakan perempuan sendiri di Papua tidak efektif untuk membangun kesadaran kritis terhadap perempuan tetapi juga terhadap laki-laki termasuk masyarakat umum. Sekalipun ada gerakan perempuan di Indonesia termasuk di Papua bicara penindasan perempuan dan aktivis feminisme ada namun sangat kontradiksi dengan cara pandang patriarki mendominasi laki-laki akibat patriarki.
Ada gerakan perempuan dan kawan-kawan feminisme di Papua namun terkesan gerakan terkesan sangat Liberal ( feminisme liberal). Dimana Aktivis Perempuan di Papua sering utamakan karir, kuota atau perwakilan Perempuan dalam pekerjaan dan kepemimpinan dalam organisasi baik organisasi non pemerintah maupun dalam sistem kolonial.
Gerakan perempuan di Papua terkesan hanya sebatas quota atau keterwakilan serta keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan sekedar kesetaraan gender dalam dunia kerja. Hal ini tentu tidak menyelesaikan akar penindasan perempuan sesungguhnya karena masalah penindasan perempuan di Papua akibat kolonialisme kapitalisme dan patriarki budaya memposisikan manusia kelas dua.
Perempuan dilihat sebagai objek pemuas nafsu kaum laki-laki dan banyak korban ekspektasi dan melahirkan kekerasan.
Dalam kasus Femisida tidak terlepas dari Juga patriarki dan seksisme dampak lainnya egoisme laki-laki maskulinitas kita pada akhirnya hal yang sering terjadi adalah masokisme dan sadisme. Penyebab masokisme Kebanyakan korban sadisme secara fisik maupun verbal melahirkan penindasan dan kekerasan termasuk Femisida terhadap perempuan Papua. Kasus-kasus Femisida di Papua beberapa tahun terakhir mutilasi seorang ibu di Puncak Ilaga tahun 2023.
Kasus dua orang ibu di kabupaten Yahukimo tahun 2023 kasusnya sudah dilaporkan namun belum jelas pelaku tidak pernah dianggap sama sekali.
Pembunuhan terhadap seseorang perempuan oleh suaminya sendiri di Kampung Wolo Timur, Distrik Wolo, Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua Pegunungan . Akibatnya, keluarga korban melakukan aksi pembakaran terhadap rumah pelaku tak terduga pada Sabtu (5/8/2023) siang.
Seorang polisi berinisial RK (38) di Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua Pegunungan, menganiaya istrinya, Jein Urpon (28), hingga meninggal. Suami membunuh istrinya di Kampung Kaibusene, Distrik Haju, Kabupaten Mappi, Papua. Dia menghabisi nyawa korban lantaran emosi dituduh telah berselingkuh. Suami Yang Bunuh Istri di Rumah Makan Jam Gadang Sentani tahun 2022 dan masih banyak kasus.
Kemudian kasus Femisida yang terakhir adalah seorang anggota TNI angkatan Laut membakar istrinya hingga meninggal akibat kebakaran di kota Jayapura akhir tahun 2024.
Kasus pembunuhan dan kekerasan terhadap perempuan di hal serius karena dampaknya adalah genosida karena perempuan habis bangsa ini akan punah.
Apa Itu Femisida ?
femisida menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah femisida artinya pembunuhan seorang perempuan oleh laki-laki karena kebenciannya terhadap perempuan. Istilah femisida pertama kali digunakan oleh Diana Russel pada International Tribunal on Crimes Against Women (1976) dan menempatkannya sebagai "pembunuhan misoginis terhadap perempuan oleh laki-laki.
Menurut Sidang Umum Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Berdasarkan Sidang Umum Dewan HAM PBB, femisida adalah pembunuhan terhadap perempuan yang didorong oleh kebencian, dendam, penaklukan, penguasaan, penikmatan dan pandangan terhadap perempuan sebagai kepemilikan sehingga boleh berbuat sesuka hatinya.
Karena itu, femisida muatannya berbeda dari pembunuhan biasa karena mengandung aspek ketidaksetaraan gender, dominasi, agresi atau opresi. Femisida bukanlah kematian sebagaimana umumnya melainkan produk budaya patriarkis dan misoginis dan terjadi baik di ranah privat, komunitas maupun negara. Berdasarkan data PBB, 80% dari pembunuhan berencana terhadap perempuan dilakukan oleh orang terdekatnya.
Maka dari itu, kasus pembunuhan femisida berbeda dengan pembunuhan biasa karena mengandung aspek ketidaksetaraan gender, dominasi, agresi atau opresi. Femisida bukanlah kematian sebagaimana umumnya melainkan produk budaya patriarkis dan misoginis dan terjadi baik di ranah privat, komunitas maupun negara.
Apa Penyebab Femisida?
penyebab kasus femisida babagi faktor termasuk masokisme berdampak pada sadisme terhadap perempuan. Selain itu ada banyak faktor lainnya menyebabkan terjadinya femisida. Secara umum Femisida faktor-faktor penyebab lain femisida antara lain:
(1).Ketersinggungan maskulinitas
(2)Marah karena didesak bertanggung jawab atas kehamilan
(3) Menghindari tanggung jawab materi
(4)Kecewa ditolak cinta
(5) Cemburu
(6) Memaksa pelayanan maupun pemenuhan transaksi seksual
(7) Konflik dalam rumah tangga dan tidak mau dicerai
(8) Melakukan perlawanan saat diperkosa dan lainnya.
Femisida atau feminisida adalah sebuah istilah kejahatan kebencian berbasis jenis kelamin, yang banyak didefinisikan sebagai pembunuhan intensional dari kaum perempuan (wanita atau gadis) karena mereka adalah perempuan.
Pengarang feminis Diana E. H. Russell mengatakan Femisida merupakan salah satu pionir awal dari istilah tersebut, dan ia mendefinisikan kata tersebut sebagai "pembunuhan perempuan oleh laki-laki karena mereka adalah perempuan.
Feminis lain menempatkan pengertian pada tujuan atau keperluan dari tindakan tersebut secara khusus ditujukan kepada perempuan karena mereka adalah perempuan; yang lainnya meliputi pembunuhan perempuan oleh perempuan. Kasus Femisida belum banyak dikenali oleh kalangan masyarakat, dikarenakan kejahatan dalam bentuk ini jarang tersorot dari berbagai media.
Kasus ini jarang tersorot adalah, karena faktor patriarki tapi juga regulasinya tidak ada sehingga masyarakat masyarakat yang mengetahui kejadian ini tidak pernah melaporkan dalam lembaga HAM maupun Komnas Perempuan (Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan).
Karena kasus seperti ini tidak masuk dalam aturan perundang-undangan daerah maupun nasional, dan tidak masuk dalam pendataan perempuan di catatan kepolisian. Kemudian para aktivis perempuan, Aktivis HAM Aktivis gerakan perlawanan di Papua dan masyarakat umum juga menganggap kasus seperti ini hal yang biasa dan mengabaikan.
Karena masalah perempuan itu tidak penting dibicarakan Perempuan manusia kelas dua sehingga terus terjadi diskriminasi berbasis gender terhadap perempuan masih subur di Papua. Di sisi lain perempuan sendiri anti bergabung dalam gerakan perempuan gerakan organisasi perjuangan menjadi pelopor berdiri ditengah laki-laki berani melawan terhadap dominasi laki-laki.
Perempuan sendiri anti terhadap teori anti diskusi anti berkabung dalam gerakan Perlawanan, membiasakan diri ikut terlibat dalam Perjuangan Pembebasan Nasional. Perempuan sendiri menjadi pelopor menciptakan Kesetaraan gender dalam interaksi sosial yang mendominasi kaum laki-laki karena keterbatasan pengetahuan tentang Penindasan Perempuan.
Perempuan sendiri memposisikan diri sebagai objek Eksploitasi dan menerima perlakuan sebagai takdir yang dan rencana Tuhan harus diterima sehingga dalam hirarki keagamaan juga turut menindas perempuan melalui hirarki agama atau sistem kepercayaan yang menindas.
Perempuan sebagai manusia memiliki hak eksistensial dimiliki hilang karena tidak ada keberanian untuk melawan. Ini soal melihat manusia setara demi memanusiakan manusia untuk membangun kesadaran dan peradaban bangsa Papua sebab perempuan salah satu pilar utama suatu bangsa. links Tulisan ini di fb :https://www.facebook.com/share/p/15rXAwd4Eb/,
Karena ini soal kemanusiaan sehingga kita tentunya punya prefektif yang sama tentang Penindasan Perempuan dan dominasi maskulinitas akibat kehilangan pran masing-masing maskulin maupun feminim. Sebab kombinasi kedua gender dalam kehidupan sosial masyarakat sangat penting dalam memelihara kesetaraan dan keseimbangan dalam keluarga maupun dalam kehidupan bermasyarakat.
Apabila kita bicara soal gender maskulin dan feminim masing-masing memiliki tugas dan tanggung jawab, hal berkaitan erat dengan hubungan alam semesta dan manusia yaitu hukum polaritas.
Bicara hukum polaritas maka tentunya tidak bisa lepas dengan kodrat maskulin dan feminim dalam interaksi sosial maupun kehidupan punya tugas dan tanggung jawab diberikan. Untuk itu saya sempat menulis mengomentari tentang membangun gerakan perempuan revolusioner harus melihat banyak faktor.
Maka sempat komentar mengatakan bahwa bangun gerakan perempuan harus tuntaskan dulu padangan seksisme dan dominasi maskulinitas toxic. Beberapa faktor dan aspek secara historis maupun dinamika kekinian dilihat secara objektif. Dimana dalam komentar saya mengatakan dengan judul membangun gerakan perempuan hilangkan dominasi maskulinitas toxic.
Mau membangun gerakan perempuan radikal di Papua banyak faktor yang diperhitungkan dan diimbangi dengan perkembangan masyarakat dan struktur sosial. Karena faktor penindasan perempuan hari ini cara pandang masyarakat bedah dengan perspektif gerakan akibat kolonialisme dan Kapitalisme tetapi kita sendiri juga menjadi penindas dimana dominasi maskulinitas.
Kita lihat perbedaan maskulin dan feminin dan kebanyakan maskulinitas toxic mendominasi dalam kehidupan sosial. Ini akibat kurangnya edukasi tentang kolaborasi maskulin dan feminin yang seharusnya padu.
Interpretasi agama patriarkis yang menempatkan laki-laki sebagai superior. Sejarah penciptaan Adam dan Hawa dalam agama Abrahamik (Yahudi, Kristen, Islam) menjadi Tradisi dan doktrin agama yang memperkuat peran laki-laki.
Faktor Psikologis,Sosiologis, Spiritual dan Faktor Ilmiah dilihat dominasi maskulinitas komoditas yang terkesan toxic menciptakan perbedaan.
Karena secara psikologis dominasi maskulinitas ini terjadi akibat kegagalan dalam mengembangkan kesadaran emosi dan empati terhadap peran masing-masing. Yang terjadi secara kultur maskulinitas yang menekankan kekuatan dan dominasi dimana praktek stereotip peran gender yang membatasi ekspresi diri selin pengaruh lingkungan dan pendidikan.
Berbeda lagi secara Filosofis dan Spiritual konsep dualitas (maskulin-feminin, baik-buruk) dalam filsafat. Apakah harus melampaui dualitas hukum polaritas menciptakan kebebasan ( MOSOKA). Hal kita bisa belajar dari filsafat berbicara tentang hukum polaritas tentang keseimbangan yin-yang dalam filsafat Timur kombinasi maskulin dan feminim.
Terlepas dari hukum polaritas konsep "Logos" (rasionalitas) vs "Eros" (emosi) dalam filsafat Yunani hal yang mungkin juga menjadi penting menciptakan keadilan dan kesetaraan. Hal yang tidak kalah pentingnya lagi adalah kajian psikologi tentang peran hormon dan struktur otak.
Dimana perempuan lebih banyak menggunakan otak kanan sedangkan laki-laki menggunakan menggunakan otak kiri yang banyak digunakan. Untuk melihat perbedaan dan perbedaan maskulin dan feminim, kembali melihat bagaimana teori evolusi tentang peran gender dalam masyarakat atau sejarah perkembangan masyarakat terutama kehidupan komunal.
Penelitian sosiologi tentang peran gender dalam masyarakat modern, kegagalan dan Ketidakseimbangan mengintegrasikan aspek maskulin dan feminin. Selain itu Ketidakseimbangan antara rasionalitas dan emosi kegagalan mengembangkan kesadaran diri dan empati dalam konteks humanisme.
Pandangan tersebut sering dikaitkan dengan interpretasi agama dan budaya patriarkis. Namun, perlu diingat bahwa:
Interpretasi Agama dan kitab Suci tidak secara eksplisit menyatakan dominasi maskulinitas. Ayat-ayat seperti "Laki-laki dan perempuan diciptakan menurut gambar Allah" (Kejadian 1:27) menekankan kesetaraan, dimana peran Adam dan Hawa sebagai pasangan, bukan superior-inferior.
Hal ini juga melahirkan kritik Feminis Patriarki menggunakan agama untuk membenarkan dominasi.
Interpretasi maskulinitas hegemonik mengabaikan perspektif perempuan sehingga perlu reinterpretasi teks agama dengan lensa feminis.
Perspektif Teologis Allah tidak memiliki jenis kelamin (Yesaya 42:14, 46:3-4).
Penciptaan Adam dan Hawa menunjukkan kesatuan dan kesetaraan, peran laki-laki dan perempuan saling melengkapi. Hal ini bisa dilihat The Bible and Feminism" oleh Katharine Doob Sakenfeld.
Feminism and Christianity" oleh Lisa, Isherwood Patriarchy and the Church" oleh Rosemary Radford Ruether. Dominasi maskulinitas dan penindasan terhadap perempuan adalah hasil kompleks dari berbagai faktor yang saling terkait. Berikut beberapa alasan:
Faktor Sosial dan Budaya patriarki serta Sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemimpin dan pengambil keputusan. Stereotip peran gender, peran laki-laki sebagai pencari nafkah dan perempuan sebagai pengasuh. Kultur maskulinitas Nilai-nilai seperti kekuatan, agresi dan dominasi. Tradisi dan adat istiadat: Praktik-praktik yang memperkuat dominasi laki-laki.
Sejarah patriarki: Sistem sosial yang berkembang selama ribuan tahun ditambah lagi kolonialisme dan imperialisme global mempengaruhi penindasan terhadap perempuan menjadi manusia kelas dua dalam struktur sosial masyarakat.
Hal ini berdampak perbudakan Perempuan sebagai budak seksual masih ada sampai sekarang di Papua melanggengkan penyebaran penyakit sosial seperti HIV AIDS.
Interpretasi agama patriarkis dimana teks agama yang menempatkan laki-laki sebagai superior.
Dualisme konsep dualitas yang memisahkan maskulin dan feminin dan juga filosofi patriarkis Filsuf seperti Aristoteles dan Thomas Aquinas.
Faktor Psikologis dilihat juga kegagalan mengembangkan empati, kurangnya pemahaman tentang perasaan perempuan dan kondisi objektif mereka hadapi. Kegagalan mengintegrasikan aspek feminin dimana laki-laki terkesan tidak menerima aspek feminin diri.Agresi dan kekerasan: Cara laki-laki mengekspresikan emosi. Faktor Ekonomi dan Politik ketidaksetaraan ekonomi perempuan memiliki akses terbatas ke sumber daya.
Kekuasaan politik laki-laki mendominasi posisi kekuasaan berdampak pada kebijakan diskriminatif dimana kebijakan yang memperkuat dominasi laki-laki.
Untuk Mengatasi Dominasi Maskulinitas
1. Pendidikan kesetaraan gender.
2. Menghargai peran perempuan.
3. Meningkatkan kesadaran tentang hak-hak perempuan.
4. Mengembangkan empati dan kesadaran diri.
5. Mempromosikan kebijakan kesetaraan gender.
Dengan demikian apabila kalau kita bicara Patriarki budaya sebenarnya yang korban bukan hanya perempuan tetapi, laki-laki juga, sekalipun volumenya perempuan lebih banyak korban patriarki.
Perempuan itu penindasan berlapis sangat kompleks seperti sekarang akibat kolonialisme TPNPB dan TNI Polri yang banyak korban adalah perempuan. Perempuan dan anak -anak dalam Pengungsian mengalami penderitaan yang cukup serius dan memprihatinkan.
Silahkan kawan-kawan kritik, coba gunakan bahasa yang rasional bukan emosional.
Pembebasan Perempuan Tanggung jawb bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar