Selasa, 13 Mei 2025

PENGKULTUSAN DAN FANATISME BUTA MEMBUNUH NALAR

FENOMENA PENGKULTUSAN DAN FANATISME BUTA MEMBUNUH NALAR

Kepatuhan buta dan fanatisme pengkultusan melahirkan patronisme adalah tantangan dan ironi terbesar karena iman tidak tumbuh karena keyakinan iman dari hati nurani melainkan pertumbuhan iman diatas sura orang dan penyembah berhala kepada manusia yang didewakan.

Fenomena pengkultusan dan fanatisme buta terhadap  individu atau tokoh agama maupun tokoh politik menjadi satu budaya dalam masyarakat salah penyebab masalah serius di papua baik dalam sistem kepercayaan maupun dalam praktek politik praktis dengan politik identitas membunuh nalar dan menghalangi kesadaran kritis dalam perkembangan masyarakat papua.

Fanatisme dan pengkultusan ini salah satu penghambat bukan hanya dalam sistem kepercayaan maupun dalam organisasi pemerintah maupun organisasi gerakan serta organisasi sosial. Selain pengkultusan pada individu sebagai tokoh dalam organisasi kerap terjadi patologi senior junior berdampak pada patronisme dan membunuh nala berpikir kritis dan tersandera dalam fanatisme pengkultusan buta terhadap individu yang dijadikan tuhan atau dewa penyelamat.

Dalam rangka membangun kesadaran kritis harus menghancurkan budaya fanatisme buta dan pengkultusan yang membungkam dan membunuh nalar berpikir kritis untuk melihat realitas dan dinamika dunia yang terus berubah bagian dari hukum dialektika.

Pengkultusan dan fanatisme buta yang melahirkan patronisme dalam semua aspek kehidupan masyarakat papua ini hampir terjadi di semua level dan dalam struktur sosial masyarakat namun yang yang kita bahas disini adalah pengkultusan terhadap Tokoh agama atau pemuka agama dalam dalam kehidupan masyarakat.

Pengkultusan Terhadap Pemuka Agama Dan Terserap Dalam  Membunuh Nalar

Jemaat yang menjadi korban kultus tokoh agama, di tengah dunia semakin kompleks bergerak cepat ini, ketika tantangan hidup manusia untuk berpikir kritis dan bijaksana justru kita menyaksikan fenomena yang memilukan dalam tubuh sebagai umat beragama lahirnya jemaat-jemaat yang tidak lagi menggunakan akal sehat. Melainkan sepenuhnya menyerahkan diri kepada figur yang mereka anggap sakral tanpa reset tanpa logika tanpa sikap kritis yang sehat. Mereka tidak lagi diajak berpikir kritis, tidak lagi didorong untuk membaca perubahan zaman untuk memahami realitas sosial atau menggali makna dibalik fenomena dunia

Mereka hanya dicekoki dogma, doktrin satu arah disuruh patuh tanpa bertanya,percaya tanpa mengerti,seolah‑olah fungsi utama seorang jemaat bukan lagi manusia merdeka yang sadar akan keadaan tetapi hanya menjadi pengikut setia yang hanya perlu mengangguk dan mengikuti apapun yang dikatakan oleh tokoh agama pujaanya dan disinilah tragedi itu bermula.Banyak jemaah hari ini terjebak dalam fenomena pengkultusan individu. 

Jika tokoh agama yang mereka ikuti berbicara maka ucapannya dianggap mutlak benar tanpa mencela, tanpa filter dan tidak boleh dipelintir, apabila tokoh itu mengeluarkan pendapat maka seolah-olah seluruh  kebenaran sumber  alam semesta dan kebenaran  Tuhan  bersumber darinya. Jika tokoh itu menunjuk mereka mengikuti, jika tokoh itu memvonis mereka mengiakan, tanpa sempat bertanya, apakah  ini adil, apakah ini logis, apakah ini benar-benar kebenaran semua, bukan hanya bagi kelompok kita.

Akibatnya lahir sebuah generasi pengikut yang buta bukan karena tidak punya mata tapi karena menutup matanya sendiri,mereka membela tokoh agama mereka meskipun tokoh itu terbukti melakukan kesalahan besar. Mereka tetap setia bahkan ketika yang dibela merendahkan martabat orang lain, berperilaku kasar atau mengambil keputusan yang merugikan banyak orang. Kebenaran tidak lagi diukur dengan nilai melainkan dengan siapa yang mengucapkan, perasaan ini nyata dan terjadi hari ini.

Kita melihat  umat yang membela tokoh agama main terang-terangan menunjukan kemewahan hidup yang berlebihan sambil menutupi dengan kalimat ini berkat dari Tuhan, pada hal dalam hati mereka sendiri sebenarnya ada keraguan yang ditekan.kita melihat pengikut–pengikut yang tetap membela saat tokoh agama mereka menyampaikan candaan yang melecehkan membuat atau menghina, fisik maupun diskriminasi secara verbal terhadap kelompok lain sambil berkata itu hanya gurauan jangan dibesar-besarkan. Kita menyaksikan bagaimana media sosial, siapapun yang mengkritik tokoh-tokoh mereka akan dihujat habis-habisan, diteror, difitnah, bahkan dikafirkan tanpa pernah mau dengar apa yang sebenarnya isi kritik itu.

Fanatisme ini membuat sebagian umat menjadi sangat reaktif, emosional dan rapuh, mereka lebih cepat marah daripada berpikir, lebih suka menyerang daripada berdialog lebih sibuk membela citra tokoh daripada mempertanyakan apakah tindakan mereka benar-benar sesuai dengan nilai-nilai moral universal. Nalar mereka tercekik oleh rasa takut kehilangan figur yang mereka dewa-dewakan dan pada akhirnya iman mereka tidak bertumbuh menjadi kesadaran yang mencerahkan tetapi, menjadi topeng rapuh yang mudah hancur ketika realitas tak lagi sesuai dengan narasi yang mereka yakini.

Banyak peristiwa nyata  kita saksikan salah satunya adalah di indonesia seperti FPI dengan dalil membela ulama, kemudian yang terbaru ketika Paus Fransiskus meninggal seseorang akan mudah  bikin konten di media sosial kemudian dihujat habis-habisan. Selain itu ada banyak jemaah yang tetap mengirimkan uang sumbangan rutin kepada tokoh tertentu, meskipun telah terbongkar bahwa dana digunakan untuk membiayai hidup mewah pribadi dan membiayai anak-anaknya sekolah sang tokoh bukan untuk program sosial bukan untuk membantu,yang membutuhkan.

Ada jemaah yang berhutang untuk menjumbangkan dana  atas nama pelayanan, atas nama  penginjilan, pembangunan gedung  gereja, rumah pribadi tokoh, dan acara bertema syukuran sesuai perintah tokoh  serta atas nama pelayanan Tuhan Ada pulah  jamaah tertentu  berusaha berhutang untuk membeli produk-produk mewah yang dipromosikan oleh tokoh fanatiknya atau idolanya, seperti air ruqyah, khusus jimat spiritual, hingga tiket menghadiri acara yang bertema religius. 

Semua ini bukan karena mereka bodoh melainkan, mereka dibutakan oleh rasa kagum yang berlebihan. Kita  juga melihat bagaimana dalam forum-forum keagamaan bukan lagi ilmu yang menjadi pusat perhatian, melainkan siapa yang tampil. Jika ia berbicara adalah tokoh agama yang mereka kagumi, maka walaupun dia berbicara ringan tanpa substansi mereka bertepuk tangan, menangis dan tercerahkan, sebaliknya.

Sebaliknya yang berbicara adalah seseorang yang lebih sederhana yang tidak terkenal, tidak populer tetapi membawa ilmu yang mendalam dan kritis berdasarkan realitas objektif maka dia diabaikan dengan menyerang secara subjektif. Karena mereka tidak menyimak merasakan memahami dan merenungkan makna dari pengetahuan tersebut melainkan mereka melihat dan bertanya  siapa yang bicara bukan mempertanyakan apa yang disampaikan.

Mereka menilai berdasarkan secara fisik dan  popularitas, penampilan keahlian mengatur kata-kata yang menghipnotis atau menyihir para mereka, bukan memahami esensi, makan dan kedalaman pengetahuan yang disampaikan. Dan betapa banyak kasus tokoh-tokoh melakukan kesalahan sebagai pemimpin jemaat tidak sesuai amanat Tuhan, tindakan mencederai moralitas, melakukan  pelecehan, menipu umat tetapi tetapi dibela dengan 1000 alasan dan dalil pemimpin agama. Seolah-olah mereka mereka paling cuci tidak boleh disentuh apalagi dikritik. Bahkan ada yang berani membela dengan mengatakan sekalipun beliau salah tetap kita harus membela karena dia adalah guru kita.

Logika telah telah hancur, etika hancur, moralitas hancur dan iman semakin merosot, integritas  hancur semua dihancurkan oleh fanatisme. Fanatisme membunuh nalar dan nalar yang mati adalah pintu pertama menuju kehancuran kolektif, sebab manusia berhenti berpikir, Ia akan menjadi alat, ia akan menjadi korban dan bahkan, tidak sadar dirinya sedang dipermainkan.Dan ia akan rela disesatkan asal tetap,merasa bagian dari kelompok.Selain itu ia akan rela membela kezaliman asal tidak kehilangan rasa aman dalam komunitasnya, ia juga akan menyerahkan akal sehat, hati dan kehormatanya kepada figur atau manusia biasa yang sejatinya tak pantas atau tidak  layak disembah.

Fanatisme membuat manusia kehilangan kebebasan batinnya, membuat ia menggantungkan iman kepada suara orang lain, bukan kepada suara nurani yang tulus.Hal ini membuat ia mudah dimanipulasi, mudah diprovokasi, mudah dikorbankan untuk kepentingan segelintir orang. Inilah yang sedang terjadi dan hari ini kita melihat buktinya dimana-mana termasuk di Papua sini. Jamaah yang tidak membela tokoh, meskipun sudah jelas melakukan penyimpangan, komunitas lebih peduli menjaga nama besar tokoh daripada membela kebenaran.

Anak-anak yang mudah tumbuh dengan mentalitas fanatik bukan dengan mentalitas kritis yang berani mencari kebenaran dan berani menanggung beban kebenaran serta mengikuti hati nurani. Inilah sangat miris dan ironi terbesar, agama  yang seharusnya membebaskan manusia dari perbudakan kini dipakai untuk membentuk perbudakan baru, perbudakan terhadap figur, terhadap simbol terhadap gengsi komunitas,iman sejati seharusnya tumbuh bersama akal sehat,bukan dalam kepatuhan buta. 

Keberanian Sejati lahir dari kesediaan bertanya, menimbang dan memilih jalan terang meskipun kadang berlawanan dengan arus besar.Mari kita kembalikan agama sebagai jalan pembebasan dan ruang membina spiritualitas atau iman, bukan penjara baru dan bukan tempat menyembah manusia.Karena Tuhan tidak pernah meminta kita bungkuk di hadapan manusia, yang Tuhan minta adalah kita berdiri tegak di kaki iman kita sendiri dalam kesadaran yang jujur.

Bahaya membiarkan fanatisme tumbuh dari konflik internal hingga kehancuran sosial. Fanatisme buta bukan hanya membunuh nalar individu, namun dalam struktur sosial masyarakat maupun jamaah. Jika fanatisme biarkan tumbuh dalam kehidupan masyarakat, ia akan menjadi penyakit kolektif yang perlahan namun pasti menggerogoti semua seni kehidupan sosial. Apa   yang awalnya tampak seperti kesetiaan pada akhirnya berubah menjadi kebutaan yang melahirkan perbedaan, bermusuhan, perpecahan dan bahkan kehancuran di tengah-tengah umat atau  masyarakat.

Fanatisme mengajarkan manusia untuk membenci siapapun yang berbeda, membenci bukan karena kesalahan nyata tetapi semata-mata namun karena perbedaan pilihan terhadap tokoh, perbedaan cara pandang perbedaan sikap terhadap-simbol-simbol yang diagungkan padahal perbedaan adalah sesuatu yang alami dalam kehidupan manusia. Tanpa perbedaan akal tidak berkembang, pemikiran tidak tumbuh dan umat tidak akan belajar terhadap perbedaan serta beradaptasi dengan perubahan zaman, namun fanatisme membalik semua itu.

Dalam masyarakat yang terjangkiti fanatisme, perbedaan kecil pun bisa menjadi alasan saling membenci,saling mencurigai, salin melabeli sesat, munafik  dan  menjustifikasi sentimen subjektif,serta memvonis dengan diskriminasi verbal atau narasi subjektif  menyebutnya kelompok kafir. 

Hal ini terjadi hanya karena berbeda dalam tafsir, dalam cara berpakaian atau dalam pilihan terhadap tokoh panutan. Maka jangan heran kita melihat banyak komunitas pecah, banyak persaudaraan yang putus, banyak tetangga yang berubah menjadi musuh diam-diam hanya karena berada di kubu yang berbeda atau beda pilihan. Ini bukan hanya sekedar teori ini nyata terjadi hari ini, kita melihat di banyak tempat termasuk di Papua seperti dualisme kepemimpinan di Gereja KINGMI dan Baptis beberapa Tahun silam bahkan dalam agama lain di Indonesia.

Ini terjadi karena perbedaan pilihan pemimpin agama atau idola masing-masing, misalnya komunitas islam saling sindir di media sosial, saling membuka aib saling menyerang bahkan sesama keluarga bisa berselisih diam –diam hanya karena pilihan ustadz yang berbeda. Mereka lupa bahwa musuh sejati bukan saudara yang berbeda pilihan, melainkan kebodohan yang membuat hati menjadi keras dan mata menjadi buta.

Fanatisme juga membuat manusia kehilangan kemampuan untuk membangun konsensus padahal kekuatan sebuah umat bukan terletak pada keseragaman tapi pada kemampuan mengelola perbedaan tanpa konsep umat hanya akan sibuk bertengkar di antara sesama,sementara masalah –masalah besar seperti kemiskinan, ketidakadilan, pengungsian, kerusakan lingkungan akibat eksploitasi sumber daya alam oleh perusahaan, penyakit sosial, narkoba, HIV/AIDS dan konflik akibat politik praktis dibiarkan merajalela.

Lebih parah lagi fanatisme menjadi pintu bagi kekerasan, ketika perbedaan tidak lagi dikelolah dengan akal sehat tetapi dengan emosi maka kekerasan menjadi keniscayaan. Sudah banyak contoh di berbagai negara di dunia, bagaimana komunitas yang fanatik tersebut mudah tersulut untuk melakukan kekerasan baik fisik maupun verbal terhadap kelompok lain. Mereka merasa membela kebenaran pada hal sejatinya sedang memperjuangkan ego dan kebutaan.

Mereka merasa melakukan jihad pada hal sebenarnya sedang menjadi alat perusak persaudaraan dan pada titik tertentu fanatisme bisa menjadi alat politik sangat efektif, ketika umat sudah fanatik mereka menjadi mudah dikendalikan oleh tokoh-tokoh yang licik dengan satu kalimat provokasi mereka bisa diarahkan untuk menyerang saudara sendiri dengan satu isu murahan.

Mereka bisa pecah-pecah menjadi kelompok kecil yang saling menghabisi dan di tengah kehancuran itu yang diuntungkan bukanlah umat tetapi segelintir elit yang menikmati kekacauan. Inilah kenapa membiarkan fanatisme terus tumbuh adalah tindakan yang paling berbahaya karena fanatisme bukan hanya membunuh satu orang.

Fanatisme membunuh peradaban, ia menghancurkan akal, melumpuhkan dialog  menguburkan kasih sayang dan membakar jembatan persaudaraan yang dibangun dengan susah payah. Fanatisme memenjarakan manusia dalam narasi sempit dan menolak kemungkinan untuk belajar dari dunia yang lua. Ia membuat manusia berpikir bahwa dunia hanya terdiri dari kita dan mereka padahal dunia ini jauh lebih kompleks, lebih indah dan lebih layak untuk dihuni bersama dalam keberagaman. Jika kita membiarkan fanatisme tumbuh kita bukan hanya menghancurkan orang lain tetapi kita sedang menghancurkan diri kita sendiri maka mari belajar mengenali tanda-tandanya.

ketika kita lebih mencintai tokoh daripada kebenaran, ketika kita lebih semangat menyerang daripada memahami, ketika kita lebih ingin membela gengsi daripada mencari hikmah  dan kebijaksanaan disitulah saatnya kita berhenti sejenak dan bertanya pada hati kita sendiri apakah saya masih berjalan menuju kebenaran atau saya telah tersesat dalam bayanganku sendiri.

Karena di jalan kebenaran dan keabadian yang akan diterima bukanlah kebutaan dalam  membela, tetapi keberanian dalam mencari kebenaran meski jalannya sunyi. Tanda-tanda jemaat yang sehat dari kritis hingga renda hati. Setelah memahami betapa mengerikanya fanatisme buta muncul pertanyaan mendasar yang wajib kita jawab bersama, bagaimana seharusnya jemaat yang sehat itu, bagaimana umat bisa tumbuh bukan sebagai pengikut yang buta melainkan sebagai pribadi-pribadi yang kritis beradab dan tetap rendah hati

jemaat yang sehat bukanlah jemaat yang hanya mengangguk pada setiap kalimat yang didengarnya, bukan jemaat yang hanya membela tokoh agama, bukan hanya membela hirarki religiusitasnya, bukan pula jemaat yang sibuk mencari musuh di luar dirinya. Jemaat yang sehat adalah jemaat yang menjaga akal dan hati tetap jernih berjalan diatas kebenaran, ada beberapa tanda bisa dikenali :

Pertama : Mereka yang sering  bertanya bukan menerima tanpa difilter, dalam setiap kajian, dalam khotbah, dalam setiap ceramah dalam setiap nasihat diterima mereka bertanya dalam hati apakah ini selaras dengan prinsip keadilan. Apakah ini mengajak kepada kasih bukan kebencian, apakah ini menguatkan nurani atau justru menimbulkan. Mereka tidak serta merta menolak tapi juga tidak langsung menerima , mereka memberi ruang bagi akal untuk memproses, merenung menimbang sebelum akhirnya mengambil keputusan.

Kedua :mereka mencintai nilai bukan sekedar fitnah figur, tokoh boleh dihormati, guru boleh dikagumi tetapi yang paling penting utama adalah nilai-nilai yang mereka bawa. Jika suatu hari seorang tokoh agama kelinci dalam kesalahan, jemaat yang sehat tidak akan jatuh dalam fanatisme membabi buta.  Mereka tetap berpegang pada nilai, karena mereka tahu figur bisa berubah manusia bisa tergelincir tetapi prinsip-prinsip kebenaran tetap abadi

 

Ketiga : Mereka bersedia berdialog bukan hanya sekedar berdebat, mereka tidak perlu membungkam siapapun yang berbeda, tidak perlu maki atau menghina, mereka bersedia mendengarkan pendapat lain. Membuka pintu percakapan, bahkan kepada mereka yang pandanganya bertolak belakang, karena mereka paham bahwa kebenaran tidak tumbuh dalam keheningan paksaan tetapi dalam ruang dialog yang terbuka.

Keempat : Mereka menjaga sikap rendah hati di tengah semangat belajar, semakin dalam ilmu mereka pelajari semakin sadar akan luasnya samudra kebenaran yang belum mereka jamah. Mereka tidak cepat menghakimi, mereka tidak cepat menyimpulkan, mereka sadar bahwa, kebenaran sejati, butuh perjalanan panjang untuk dipahami sepenuhnya.

Kelima : Mereka mengutamakan akhlak daripada simbol, bagi mereka pakaian, bahasa cara berbicara semua itu penting tapi bukan itu yang utama, yang utama adalah bagaimana mereka memperlakukan sesama manusia, bagaimana mereka menepati janji, bagaimana mereka jaga lisan bagaimana mereka menolong tanpa pamrih. Karena sejatinya agama bukan tentang tampil beda tetapi agama adalah tentang hadir membawa rahmat.

Tanda-tanda harus menjadi cermin bagi setiap kita, jika kita ingin masa depan umat yang lebih sehat kita terus berhenti menciptakan jemat-at-jemaat yang sekedar ramai, seremonial dan euforia hedonisme tetapi kosong. Kita harus mulai menanamkan budaya berpikir kritis, budaya bertanya, budaya ingin tahu, dan budaya mendalam dalam memahami nilai-nilai dan resensinya.

Kita mulai menciptakan ruang-ruang diskusi seminar ceramah setiap kegiatan keagamaan atau hari besar keagaman agar mengasah akal sehat, bukan membius emosi. Kita harus mendorong revolusi  kesadaran kritis termasuk mendorong  para tokoh-tokoh agama untuk mengajarkan umat tentang budaya kesadaran kritis, meski hal itu terjadi kehilangan sebagian pengikut yang suka dimanjakan.

Karena yang kita butuhkan bukan kuantitas atau jumlah umat yang banyak tetapi  kualitas, umat yang kuat yang berjalan dengan kesadaran bukan sekadar ikut-ikutan. Yang mampu bertahan dalam ancaman gelombang zaman tanpa kehilangan akal sehatnya. Mungkin di awal jalan ini akan terasa sepi, mungkin lebih banyak pertanyaan daripada banyak tepuk tangan tapi percayalah dari-jemat-jemaat kecil yang sehat inilah peradaban baru akan lahir peradaban yang tidak dibangun dari kultus individu tetapi dari cinta akan kebenaran dan keberanian untuk berpikir dengan nurani  yang merdeka.

Mari kita membangun budaya kritis, bangunkan nalar berpikir masih tidur, bangun kepercayaan diri dan revolusi kesadaran demi masa depan umat di masa depan hidup dalam kebebasan bukan dalam penjara dogmatisme dan pengkultusan membunuh nalar.

Tulisan sebagai edukasi bersama termasuk kritik terbuka untuk kita semua termasuk saya.

BY. NESTA 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PENGKULTUSAN DAN FANATISME BUTA MEMBUNUH NALAR

FENOMENA PENGKULTUSAN DAN FANATISME BUTA MEMBUNUH NALAR Kepatuhan buta dan fanatisme pengkultusan melahirkan patronisme adalah tantangan dan...