Jumat, 28 Februari 2025

Seksisme Melahirkan Penindasan Berbasis Gender



Dalam perjuangan pembebasan Nasional Papua Barat sangat dibutuhkan kekuatan Peole power atau kekuatan rakyat secara langsung dalam gerakan perlawanan nasinal. Salah satu pillar dalam perjuagan pembebasan adalah kaum hawa atau perempuan, karena perempuan adalah salah satu pilar utama dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara.

Maka sangat dibutuhmkan keterlibatan perempuan dalam gerkan perlawanan rakyat Papua bukan hanya menjadi masa rakyat tetapi ajuga secara person terlibat dalam organisasi perjuangan sebagai aktsvis Revolusioner, anggota organisasi bahkan menjadi pengurus dan pimpinan organisasi gerakan perlawanan adalah keharusan.

Posisikan perempuan sebagai pejuang memiliki tanggung jawab moral sebagai anak bangsa Papua punya hak yang sama atau setara dengan kaum laki-laki dalam perlawan penindasan di Papua. Oleh karena itu sangat diperlukan pendidikan dalam internal setiap oraganisasi gerakan di Papua  tentang seksisme patriarki budaya menghambat perempuan papua terlibat dalam perjuagan pembebasan nasional. Maka sangat diperlukan pendidikan bersama pentingnya ketelibatan perempuan dalam organisasi perjuangan dengan menetapkan materi pendidikan tentang penindasan perempuan dalam konteks seksisme dan patriarki tanapa menguragi hukum patrinia atau hukum adat budaya di Papua sebagai hiraraki bangsa Papua harus dilindungi dan dilestarikan bersama.

Namun dalam konteks perjuagan pembebasan nasional Papua barat sangat diperluakan perjuangan pembebasan permpuan dari pandangan seksisme dan patriarki  dalam organisasi perjuangan, karena pembebasan bangsa kita perjuangakan tanpa pembebasan perempuan dam platfrom organisasi perjuagan agar tidak ada perbedaan kelas dalam organisasi perjuangan tetapi perempuan maupun laki-laki memiliki tanggung jawab  sebagai  aktvis menciptakan kesetaraan.

Sebelum kita membahas lebih lanjut kita perlu mengetahui terlebih dahulu apa itu seksisme dan patriarki, untuk memahaminya beberapa hal yang sederhanan yang kita angakap lelucin tetapi kita tidak sadar kalau apa yang kita ucapkan dan tindakan kita lakukan itu adalah peraktek seksisme dan patriarki dalam kehidupan dan pergaulan interaksi sosialn  kita.

Peraktek seksisme dan patriarjki sering terjadi atau dilakukan secara sadar atau tiadak sadar dalam organisasi dalam kehidupan sehari secara verbal tanpa kita sadari dianataranya :

1.       Domestifikasi perempuan sebagai pekerja domestik atau pekerjaan rumah tanggga:  pada hal itu bukan kodratnya perempuan semata tetapi tanggung  jawab bersama kaum laki-laki maupun, tanpa dipaksa. Hal yang siring diangkap lelucon, contoh : kawan ko cuci piring sendiri, ko suci pakian sendiri dimana ko punya maitua (istri) ko kawin dia untuk apa ? ko maitua tidak rajin pamalas kerja kenapa kawin dia (pelavelan), ko ini kaja baci saja, ko bukan perempuan jangan cengeng, ko  pu gerakan ini macam perempuan saja lambat, jadai laki-laki kuat ko bukan perempauan.

2.       Subordinasi perempuan : perempuan selalu dipandang sebagai kaum yang lemah, manusia kelas dua dalam kehidupan masyarakat, laki-laki dilihat mahkluk yang kuat tegas dari perempuan kaum hawa yang lemah dalam mengambil keputusan dalam organisasi. Contoh : laki laki haraus bertanggung jawab mencari nafka keberlangsungan hidudup dalam keluaraga, sementara perempuan urus anak uraus anak, urus rumah tanggga, urus masak minum, susci di rumah saja. Perempuan itu tidak boleh urus pekerjaann.

3.       Marginalisasi Perempuan mengasingkan perempuan tidak ikut terlibat dalam pekerjaan setara dengan laki-laki. Contoh : ko itu perempuan sekolah tinggi juga kembali ke dapur, jadi ko pu sudara laki-laki aja kita prioritaskan untuk sekolah, tidak bisa berbaur dengan laki-laki ikut terlibat dalam organisasi atau komunitas diskusi bebas akarena orang tua larang, ada acara di rumah segala urusan masak minum dan buat the copy harus perempuan, laki-laki bisa keluar diskusi atau bermain sampai tengah malam tidak mengapa kau ini perempuan.

4.       Objektivikasi perempuan, perempuan harus mekap, semua barang warna ping melambangkan berhak pakai perempuan. Perempuan dijadikan objek ekploitasi dan bisnis melalui iklan produk kecantikan , perempuan harus cantik seperti artis dan sama seperti perempuan korea pakaian mini dan lain-lain.

Itulah contoh peraktek seksisme dalam kehidupan kita sehari masih melihat perempuan  dari sudut pandang seksisme.

Dari beberapa contoh diatas kami bisa melihat bagimana paradikma kita melihat perempuan sebagai  kaum yang lemah. Pekerjaan dalam ruamh kita angkap sebagai kodratnya perempuan, laki –laki duduk pangku kaki-kaki, urus anak semua perempuan. Kemudian membatasi perempuan secara bebas berexpresi akibat terisolasi dengan patriarki dan kehidupan perempuan ditentukan oleh laki serta perempuan menjadi objek oleh kaum kapital melalui berbagai prodak kecantikan menjadi iklan dan menjastifikasi lainya.

Kadang kita tidak menjadarinya setiap ucapan kita sehari-hari di dalam rumah tangga, di kampus, dalam organisasi dan kadang kami ucapkan lelucon tetapi setiap kata kita ungkapkan terhadap perempuan dari sudut pandang seksisme.

Seksime adalah dilihat sebagai satu bentuk diskriminasi terhadap perempuan dilihat dari sudut pandang jenis kelamin. Seksime sudah ada sejak jaman bar-barisme atau dalam pekembangan manusia dikenal dengan semi komunal hidup meramu dan berpindah-pidah. Namun jaman bar-barisme pembagian peran antara kaum laki-laki dan perempuan sanagat baik.  Dari jaman perasejarah sampai dengan jaman komunal tidak ada pandangan seksisme seperti  sekarang, mungkin ada patriarki buadaya sedikit tentang pembagian hak kepemilikan tanah hutan dan kekayaan atau harta dari orang tua kepada anak-anak.

Hak kepemilikan lebih dominan kepada anak laki-laki dari pada anak perempuan, tetapi hal ini terjadi tidak semata mata karena seksisme dan bukan tergolong penindasan perempuan tetapi, ini karena  untuk mempertahankan dan menerusakan warisan budaya hak kepemilikan serta mempertahankan marga dan harga diri keluaga.

Pembagian harta lebih banyak dimiliki laki-laki karena lagi akan meneruskan keturunan dan mempertahanakan tanah hutan dan ahli waris lainya di dalam komunitas tersebut sehingga kebanyakan harta diberikan kepada laki-laki. Sedangkan untuk perempuan punya hak sama tetapi ada kecualinya, apabila perempuan keluar kawin dengan laki –laki di daerah lain atau kampung lain maka tidak punaya hak untuk mendapatakan hak kepemilikan tanah dan hutan serta kekayaan llainya. Sedangkan anak perempuan kawin dengan laki-laki di satu kampung atau dalam komunitas tersebut maka, dapat hak yang sama dengan saudara-saudara laki-laki tetapi ada ketentuan. Jika suatu saat saudara perempuan punya anak ada maka biasa dapat hak kepemilikan tanah tetapi tidak punya anak mandul maka tanah atau hutan dan sumber daya alamnya diambil kembali oleh saura laki-laki atau anak-anak dari laki-alaki.

Dilihat dari konteks ini maka tidak bisa dikatakan penindasan dari akonteks budaya dan hukum patrinia yang berlaku dalam satu komunitas tertentu. Jadi pada saat komunal tidak pernah mengenal dengan namanya penindasan perempuan, tidak ada patriarki memandang perempuan lemah dan manusia kelas dua dalam masyarakat.

Karena kehidupan masyarakat komunal perempuan dan laki-laki memiliki tanggung jawab yang sama dan bagai peran dalam aktifitas misalnaya corak produksi memenuhi kebutuhan hidudp kerja bersama. Istri suami memiliki tugas masing –masing , misalnya laki-laki kerja kebun, Istri bantu kerja, selesai kerja kebun kali ubi puang ke rumah masak makan kasih besar anak secara bersama. Setelah laki-laki menyelesaikan kebun perempuan punya tugas tanam, kadang kebun perempuan punaya sendri dan laki-laki sendiri. Bersikan kebun sampai panen selalu kerja sama suami istri.

Kemudian untuk memelihara ternak misalnya babi urus babi kasih makan bukan ahanya perempuan saja tetapi laki-laki adan perempuan berperan aktif kerja bersama. Untuk bikin rumah saat laki laki kerja siapkan bahan bagunan istri pergi kali ubi untuk masak makan, ketiga pada saat masak babi sebelumya suami istri bicara ada kesepakan siapa-siapa yang diundang bagiman pembagianya.

Dalam keluarga sering ada pertengkaaran terjadi kadang dipicu oleh anak-anak, apabila anak –anak nakal  abapanaya pukul istrinya marah membela anak kadang memicu pertengaran dalam rumah tangga, kadang baku marah karena babi, dimana saudara perempauan atau saudara dari laki-laki kena masalah maka tiba –tiba mereka harus bayar masalah dengan babi untuk bantu meringanakan masalah yang dihadapi saudara dari istri ataupun saudara dari suami. Kadang istri mau lepaskan babai kadang suamai tidak mau tetapi terpaksa melepaskan harta mereka karena masalah, akhirnya terjadi pertengkaran dalam ruamh tangga.

Dari sini kita lihat tidak ada kekerasan terhadap perempuan , tidak ada penindasan perempuan karena patriarki ndan tidak ada pandangan seksime dalam komunitas masyaraakat komunal. Tidak ada perbedan kelas dalam kehidupan masyarakat komunal, selalu hidudup aman tanapa ada penindasan perempuan bahkan dalam kehidupan komunal selalu kerja sama , bagai peran masing-masing antara perempauan dan laki. Kacuali di honai atau rumah laki –laki tidak boleh perempuan masuk , karena berbagai alasan mendasar pertama dalam honai laki-laki ada kekuatan supra aanatural, kedua di honai laki-laki banyak hal baik dan buruk dibicarakan dan yang ke tiga adalah ketiga musuh datang serang honai laki-laki taidak boleh ada korban perempuan dan anak-anak. Ke empat ketiga ada musush tiba-tiba serang maka laki-laki secara bebas menghadapi musush tanpa terikat dengan perempuan dan anak-anak.

Saat perang ada perempuan harus punya tugas dan tanggung jawab untsuk melindungi anak dan bisa mencarai tempat aman , tetapi ada perempuan khusus yang selalu mainkan fungsi kontra Intelejen dan memancung musush sehingga saat perang ada perempuan punya peran khusus dimainkan. Tetapi dalam perang perempuan dan anak selalu dilindungi.

Seksisme dan patriarki penindasan perempuan terjadi dimana masa transisi dari komunal ke masyarat berkelas, yaitu perbudakan dan peodalisme yang menciptakan  masyarat berkelas bagian dari sitem kapital. Dimana masa transissi masyarakat komunal primitif ke perbudakan ditandai dengan privatisasi dan monopoli alat produksi (Tanah) yang meneyebabakan terciptanya masyarakat berkelas dan tersinggirnya kaum perempuan dari alat produksi karena memenuhi tenaga kerja produksi dan memenuhi kebutuhaan mendesaak sehingga lama-lama budaya mulai semakin  dipatenkan pada masa feodal atau peodalisme atau sitem kerajaan , raja dan pemilik menjadi berkuasa atas rakyat dengan perbudakan sebagai tenaga kerja.

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PENGKULTUSAN DAN FANATISME BUTA MEMBUNUH NALAR

FENOMENA PENGKULTUSAN DAN FANATISME BUTA MEMBUNUH NALAR Kepatuhan buta dan fanatisme pengkultusan melahirkan patronisme adalah tantangan dan...