![]() |
Foto Anak Sekolah Demo Tuntut Pendidikan Gratis di Wamena |
Ketika saya buat postingan tentang papua merdeka ada yang mengomentari postingan saya perjuangan ini butuh orang pintar. Orang papua harus sekolah dan belajar sampai ke luar negeri supaya pintar, punya pengetahuan untuk melawan bangsa penjajah. Kita berjuang tapi tidak punya pengetahuan hanya buang waktu energi, dapat pukul dapat tangkap masuk penjarah katanya. Untuk menjawab komentar kalimatnya sederhana, kalau mereka bodok tidak punya pengetahuan tidak mungkin bicara papua merdeka.
Sekolah itu memang penting tetapi, sekolah sampai S3 Gelar doktor dan profesor itu tidak akan pernah berdiri di garis depan ciptakan revolusi dan hadapi musuh untuk selamatkan satu bangsa. Jarang ada cerita mereka yang punya doktor profesor menjadi pelopor dalam medan perlawanan. Mereka yang punya gelar akan selalu mencari kehormatan, mencari kenyamanan, mecari popularitas gelar akademis dan akan selalu konservatif.
Mereka tidak berani menerima konsekuensi logis pada hal pengetahuan mereka harus dibuktikan dengan realitas dan diuji kebenaranya. Revolusi yang selalu menjadi pelopor, jiwa raga mereka korbankan seluruh hidup dan mereka selalu manjadi martir dalam perlawanan adalah orang-orang yang tidak sekolah,terlihat bodoh secara akademis, tidak punya gelar tetapi selalu menjadi martir bagi bangsa.
Karena mereka yang tidak punya gelar hanya memiliki pengetahuan dan hati yang tulus mengorbankan seluruh hidupnya untuk bangsa dan tanah air.Mereka yang bicara papua merdeka itu kaum revolusioner tidak butuh gelar, tidak butuh penghormatan tetapi, mereka butuh pengetahuan yang bisa digunakan untuk menyelamatkan bangsa.Mereka tidak selalu belajar ilmu pengetahuan dari doktor atau profesor, hampir 80% mereka belajar dari realitas dan pengalaman hidup bangsanya sendiri masih tertindas.
Hal yang mereka pikirkan adalah pengetahuan penting belajar sambil berjuang, pengetahuan juga harus disesuaikan kebutuhan bangsanya. Apa yang dibutuhkan oleh bangsanya yang masih terjajah ?Apakah perbanyak orang pintar, doktor, profesor, ilmuan filsuf dan akademisi hebat, cerdas, atau cendikiawan yang dibutuhkan bangsa ini ?
Bangsa ini hanya butuh pengetahuan dan dan mereka yang berani melawan untuk menyelamatkan diri dari ancaman kolonialisme dan kapitalisme. Inilah kesenjangan pola pikir dan kontradiksi dengan kaum revolusioner hanya butuh pengetahuan daripada mencari kenyamanan dan kehormatan dengan punya gelar berlapis.
Kontradiksi dan kesenjangan pola pikir ini bukan hanya terjadi antara akademisi dan kaum revolusioner tetapi, terkadang kontradiksi dengan kelompok reformis yang konservatif juga. Perbedaan prespektif seperti ini bukan hal baru melainkan hal biasa dalam perjuangan satu bangsa melawan kolonialisme. Hal ini bisa terjadi bukan hanya perbedaan prespektif semata terkadang ego personal maupun ego organisasi. Dalam kondisi ini kaum revolusioner dan kelopok kontra revolusi atau kelopok reformis konservatif yang perbedaan prespektif harus melihat kebutuhan bangsa dalam satu visi bersama sangat penting.
Karena kontradiksi dan perdebatan hanya memperpanjang penindasan tanpa memberikan tindakan politik alternatif untuk keselamatan bangsa daripada mempertahan ide gagasan hanya menjadi perdebatan ngusir tanpa tindakan perlawanan progresif. Persoalannya nasib bangsa itu tidak bisa digadaikan dalam ruang debat dan siapa yang jadi pemenang debat akan menyelamatkan nasib sebuah bangsa sendiri. Di perlukan tindakan politik yang revolusioner yang dibutuhkan orang yang punya kesadaran ideologis dan aktivis yang punya kesadaran kritis menjadi pelopor.
Rakyat tertindas yang punya kesadaran punya kesadaran reaksioner sebagai pasti siap menjadi penggerak dan kekuatan perlawanan. Selalu melihat peluang dan ancaman analisis berapa lama kita jalan ini bukan pesimis ini hanya skeptis terhadap nasib bangsa ini. Jadi kami yang tidak sekolah sampai ke luar negeri biarlah teruskan perjuangan ini. Jika kami tidak selesaikan kamu yang sekolah pintar akan teruskan.
Kesenjangan Pola Pikir Di Masyarakat Kita
Ketika anak-anak mudah bergabung dalam organisasi gerakan diskusi aksi orang tua melarang mereka karena dianggap berbahaya. Ketiga anak-anak mudah pesta minuman keras narkoba dan acara tidak produktif seperti acara goyang hingga pagi orang tua dimana. Mana yang produktif acara yang malam minum mabuk, pesta narkoba atau dan pergaulan bebas ? Atau bergabung dalam organisasi gerakan, organisasi sosial melakukan diskusi aksi dan advokasi masalah sosial dan ekonomi politik ?
Justru bergabung dalam gerakan itu mendidik mentalitas karakter dan pengetahuan mereka tidak dapat di sekolah. Dalam organisasi mendidik mereka analisa kritis logika berpikir rasional supaya mereka paham dan mengerti persolan. Di sekolah di kampus hanya melatih mereka menjadi budak bukan menjadi manusia yang cerdas berpikir luas.
Pengetahuan yang benar adalah mereka dapat dari pengalaman dan dari interaksi sosial mereka mempengaruhi logika rasional karakter mereka. Bukan acara goyang, pergaulan bebas pesta mabuk narkoba dll.
Refleksi Gelar Sarjana dan Ijazah Kita
Disiplin ilmu yang kita terima dalam sistem pendidikan hari ini hanya menghasilkan bagimana menjadi budak terbaik. Ilmu yang mendidik manusia menjadi pereman bagi penguasa dan menjadi sarjana instan yang selalu berorientasi ingin jdi PNS dan jadi DPR.
Jika kita jujur maka sarjana, gelar dan ijazah bukan tolak ukur keberhasilan. Teori banyak yang sulit konseptualisasikan ijazah tanda kita pernah sekolah dan gelar sebagai tanda kelulusan. Kita hanya sarjana tidak punya keterampilan sulit bersaing dan berinovasi sebab membentuk karakter dan watak yg instan dalm sistem pendidikan yang bobrok hari ini.
Ilmu pengetahuan kita terima dalam sistem indonesia membentuk mental instan membunuh nalar berpikir produktif. Teori kita terima sulit mengkomersilkan dgn realitas obyektif di tempat kami karena malas berpikir keras, nanti terhadap teori dan proses dialektika, karena selalu berharap yang instan dan sensasional.
Ini adalah kegagalan, gelar sarjana dan ijazah tidak menjamin kehidupan dan menghadapi tantangan hari ini. Orientasi kita hanya PNS dan jadi DPR itu sesungguhnya tidak relevan bagi generasi produktif. Jadi PNS dan jadi DPR hanya menjadi pereman dan budak, hanya piring makan pribadi dan keluarga rumah tangga. Tidak akan pernah anda bebas berbuat banyak perubahan kehidupan sosial untuk banyak orang tersenyum.
Karena anda terikat dengan rantai raksa tirani penguasa memperkuat eksistensi penindasan dan berfikir individualisme Hidup anda, kebebasan anda diatur oleh orang lain, seakan manusia romot yang selalu kontrol. Keluar dari lingkungan hidup dalam aquarium, buatlah gagasan baru konseptualisasi teori berdasarkan realitas obyektif. Idealisme dipaksakan tanpa disandingkan realitas obyektif.
Perubahan itu akan terjadi apabila kita mengandalkan ijazah gelar sarjana dan pandai diperdebatkan teori perubahan sosial yang selalu ada itu tidak akan ada perubahan. Harus ada proses dialektika dan pendidikan alternatif berbasis kebudayaan dan kontekstual. Buanglah teori perubahan sosial yang selalu anda terima dan buatlah teori baru berdasarkan kerangka berpikir orang Papua.
Jangan paksa kami piara sapi, coba ajar kami piara babi. Jangan ajar kami tanam padi tetapi ajar kami berkebun tanam ubi dan tanam sagu di dusun dan lindungi sagu. Tanam sagu dan menjaganya itu hak kami, janganlah paksakan tanam kelapa sawit.
#PapuaBukanTanahKosong
#PapuaDaruratMiliter
#PapuaKrisisKemanusiaan
#TolakInvestasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar